Pengesahan RUU Intelijen Tak Perlu Buru-Buru
Berita

Pengesahan RUU Intelijen Tak Perlu Buru-Buru

Pasal penangkapan dan penyadapan masih krusial dan berpotensi menabrak aturan lain.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pengesahan RUU Intelejen tak perlu buru-buru. Foto: SGP
Pengesahan RUU Intelejen tak perlu buru-buru. Foto: SGP

Suatu saat nanti, yang berhak menangkap seseorang bukan hanya polisi tetapi juga aparat Badan Intelijen Negara. Meskipun istilah yang dipakai ‘pemeriksaan intensif’, tetap saja maknanya penangkapan. Petugas intel yang sama berhak menyadap hubungan komunikasi setiap warga negara Indonesia tanpa mendapat izin dari pengadilan.

 

Peristiwa itu bisa terjadi jika RUU Intelijen disetujui DPR dan Pemerintah untuk disahkan menjadi undang-undang. RUU Intelijen memberikan kewenangan melakukan pemeriksaan intensif terhadap seseorang. Demikian pula wewenang melakukan intersepsi komunikasi alias penyadapan. Pasal penangkapan dan penyadapan ini adalah dua dari sekian banyak titik krusial dalam RUU Intelijen yang dikritik kelompok masyarakat sipil. “Pasal-pasal itu mengkhawatirkan,” kata Paulus Widayanto, anggota Masyarakat Komunikasi dan Informasi.

 

Titik krusial lain diungkap Deputi Direktur Yayasan SET Agus Sudibyo. Ruang lingkup kerahasiaan informasi intelijen, seperti disebut dalam Pasal 24 RUU, dinilai Agus masih terlalu luas dan ‘karet’. Lingkupnya meliputi sistem intelijen negara, akses-akses yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan intelijen, data intelijen kriminal yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional.

 

Selain itu, termasuk pula rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional, dokumen tentang intelijen berkaitan dengan penyelenggaraan keamanan nasional, serta personil inteijen negara.

 

Lingkup ini, kata Agus, masih terlalu luas. Kerahasiaan informasi tentang personil intelijen, misalnya, tak punya batasan sehingga informasi tentang pimpinan BIN bisa dianggap sebagai informasi intelijen yang tak boleh diakses. Padahal, pimpinan BIN adalah jabatan publik yang informasinya bersifat terbuka.

 

“Tidak ada penjabaran lebih lanjut tentang poin-poin ruang lingkup informasi intelijen,” tegas anggota Dewan Pers itu dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jum’at (01/7).

 

Anggota Komisi I DPR Tb Hasanuddin tak menampik titik-titik krusial dan polemik dalam RUU Intelijen. Politisi PDI Perjuangan ini sepakat pasal penangkapan – dan penyadapan—harus dikritisi. “Tidak ada dasar hukumnya aparat intelijen negara bisa menangkap,” imbuhnya. Petugas intelijen bukanlah aparat penegak hukum.

 

Mantan Sekretaris Militer Presiden Megawati itu memastikan Fraksi PDI Perjuangan akan menolak pasal penangkapan. Secara yuridis, kewenangan menangkap bagi aparat intelijen akan menabrak banyak peraturan perundang-undangan, terutama KUHAP. Perdebatannya bukan pada tiga atau tujuh hari ‘pemeriksaan intensif’. Sejak awal, pasal penangkapan harus ditolak. Penyadapan pun, kata dia, seharusnya tetap harus seizin ketua pengadilan.

 

Hasanuddin sangat menyayangkan sikap Pemerintah yang ngotot memasukkan pasal penangkapan dan penyadapan. Usulan yang sama masuk pula dalam RUU Keamanan Nasional. “Kalau itu diteruskan, kita kembali ke zaman Orde Baru,” ujarnya.

 

Rencananya, RUU ini bakal disahkan pada Juli 2011. Namun rencana itu belum tentu terealisir. Melihat kelemahan dan titik-titik krusial, Agus Sudibyo meminta RUU tak buru-buru disahkan. Ia mengusulkan sebaiknya dibentuk Pansus RUU Intelijen yang membahas masalah tersebut.

 

Senada, Tb Hasanuddin mengatakan DPR tidak akan terburu-buru. Bagi DPR, jauh lebih penting memenuhi harapan publik ketimbang memaksakan pengesahan. Pembahasan dan finalisasi draf RUU tidak harus selesai Juli ini. Ia berharap jangan sampai RUU melanggar landasan konstitusional dan yuridis keterbukaan informasi publik.

Tags: