Seponering Masih Layak Milik Kejaksaan
Berita

Seponering Masih Layak Milik Kejaksaan

RUU Kejaksaan masih perlu mengakomodir kewenangan seponering untuk jaksa.

Ali
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah berharap ke depan Kejaksaan bisa sekuat KPK. Foto: SGP
Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah berharap ke depan Kejaksaan bisa sekuat KPK. Foto: SGP

Pembahasan RUU Kejaksaan masih terus digodok oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Kali ini, sejumlah pihak terkait, Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimintai pandangannya mengenai revisi UU No 16 Tahun 2004 ini.

 

Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah berharap ke depan Kejaksaan bisa sekuat KPK. Yakni, tidak pernah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan deponering (pengenyampingan perkara demi kepentingan umum), tetapi bisa selalu menang di pengadilan. “KPK kan tak pernah SP3, bahkan deponering,” ujarnya di ruang rapat Baleg, Senin (19/9).

 

Anggota KHN Bidang Hukum Tata Negara (HTN) Fajrul Falaakh berpendapat kewenangan deponeering itu sudah dimiliki Kejaksaan sejak lama, bahkan di tiga undang-undang Kejaksaan sebelumnya. Istilah yang tepat sebenarnya seponering, bukan deponering,” jelasnya.

 

Fajrul menilai kewenangan ini masih perlu dimiliki oleh Kejaksaan selaku penegak hukum. Karena, berdasarkan asas diskresi, setiap penegak hukum memang perlu memilki kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum itu. Hanya, Fajrul menilai perlu diberikan rambu-rambu agar kelak seponering tidak diterbitkan seenaknya. “Perlu ada batas atas dan bawah bagaimana mengeluarkan seponering itu,” ujar Fajrul.

     

Lebih lanjut, Fajrul menuturkan kewenangan seponering sebenarnya cukup berguna dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya, dalam pencurian buah kakao yang dilakukan oleh Nenek Minah beberapa waktu lalu. Seharusnya, jaksa dalam kasus ini menggunakan kewenangannya itu untuk mengesampingkan perkara, sehingga tak menciderai rasa keadilan masyarakat.

 

Ini juga berguna untuk mengatasi tunggakan perkara yang mampir ke meja pengadilan. Fajrul menuturkan ada seorang hakim agung yang mengeluh sebuah kasus karena tembok tiga bata saja, bermuara ke kasasi di Mahkamah Agung (MA). Padahal, lanjutnya, polisi atau jaksa sejak awal seharusnya sudah bisa mengesampingkan perkara ini di tingkat awal.

 

“Polisi mungkin bisa bilang, orangnya nggak mau damai. Jadi ada faktor kultur yang harus dipertimbangkan. Saya tetap menilai kewenangan seponering itu tetap perlu dimilki oleh Kejaksaan,” ujar Fajrul.

 

Penuntutan

Dimyati mempertanyakan apa beda proses penunututan di KPK dan Kejaksaan. “Bagaimana proses penuntutan di KPK dan Kejaksaan. Apakah di KPK juga ada rencana penunutan (rentut) sebagaimana yang ada di Kejaksaan?” tanya politisi PPP ini kepada Direktur Penuntutan KPK Warih Sadono.

 

Warih yang juga berasal dari Kejaksaan ini menuturkan lembaga rentut di Kejaksaan tak lagi dilakukan secara berjenjang. Baik di KPK dan Kejaksaan, penuntutan sudah mulai didelegasikan. “Di KPK juga begitu, kita sebagai JPU berdiskusi terlebih dahulu sebelum membuat tuntutan,” pungkasnya.

Tags: