Putusan MK Berpengaruh pada Hukum Waris
Berita

Putusan MK Berpengaruh pada Hukum Waris

Namanya bukan warisan, karena akan bertabrakan dengan konsep dasar hukum Islam. Bisa diganti dengan sedekah atau hibah.

Oleh:
Fat/ASh
Bacaan 2 Menit
Putusan MK Berpengaruh Pada Hukum Waris. Foto: SGP
Putusan MK Berpengaruh Pada Hukum Waris. Foto: SGP

Mungkin putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai status anak yang lahir di luar nikah membuat sebagian orang bergembira. Terlebih bagi para ibu yang mengalaminya. Namun, putusan ini dianggap menimbulkan persoalan baru, terutama terkait pembagian harta ayah kepada anak tersebut.

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, HM Nurul Irfan, berpendapat putusan MK tersebut memang mengarah ke pembagian harta ayah kepada anak di luar nikah. Tapi, pembagian harta tersebut tidak bisa diimplementasikan sebagai warisan menurut konsep dasar hukum Islam, yaitu anak laki-laki mendapat harta dua kali lipat ketimbang anak perempuan.

Sebab, lanjut Irfan, warisan menurut konsep dasar hukum Islam memiliki syarat seperti adanya nasab atau hubungan sah menurut pernikahan. Nasab sendiri adalah keturunan darah atau hubungan-hubungan kekerabatan di dalam Islam melalui pernikahan yang sah. Atau, melalui pengakuan seorang laki-laki bahwa itu anaknya yang diikuti dengan adanya bukti-bukti DNA dan tes darah.

“Kalau mau disinkronisasi dengan konsep dasar hukum Islam jangan diberi nama waris. Kalau waris syaratnya harus ada hubungan kekerabatan yang sah. Kalau anak di luar nikah kan tidak sah (menurut hukum). Jadi silakan memperoleh haknya tetapi bukan nama waris, misalnya, hibah, sedekah dan lain-lain,” tutur Irfan melalui sambungan telepon, Jumat (17/2).

Untuk diketahui, permohonan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) UU Perkawinan ini efek dari perceraian pedangdut Machica Mochtar dan Moerdiono, mantan Mensesneg era (alm) Presiden Soeharto. Machica dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun 1993 yang dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu, Moerdiono masih terikat perkawinan dengan istrinya. Lantaran UU Perkawinan menganut asas monogami mengakibatkan perkawinan Machica dan Moerdiono tak bisa dicatatkan KUA.

Akibatnya, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut hukum (negara) dan anaknya dianggap anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Setelah bercerai, Moerdiono tak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak pula membiayai hidup Iqbal sejak berusia 2 tahun. Iqbal juga kesulitan dalam pembuatan akta kelahiran lantaran tak ada buku nikah.

Pada 2008, kasus ini sempat bergulir ke Pengadilan Agama Tangerang atas permohonan itsbat nikah dan pengesahan anak yang permohonannya tak dapat diterima. Meski pernikahannya dianggap sah karena rukun nikah terpenuhi, tetapi pengadilan agama tak berani menyatakan Iqbal anak yang sah karena terbentur dengan asas monogami itu.

Tak Legalkan Perzinahan
Dalam kesempatan yang sama, Irfan juga membantah anggapan bahwa putusan MK tersebut ‘melegalkan’ perzinahan. Menurutnya, putusan tersebut merupakan bentuk ijtihad MK untuk melindungi hak-hak seorang anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat oleh negara.

Ia menilai, anak yang lahir di luar nikah selama ini sengsara karena tak diakui secara legal hukum. “Jadi (putusan MK) semangatnya untuk membela hak anak yang terlantarkan,” katanya.


Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan mengatakan, putusan MK malah memperkuat hubungan perdata antara ayah dengan anak dan sang ibu. “Saya rasa tidak (melegalkan perzinahan), ini hanya menegaskan bahwa ada hubungan perdata dengan ayah dan ibunya. Jangan sampai ia menjadi anak alam (lahir di luar nikah) karena tidak diakui oleh ayahnya. Maka itu ditegaskan oleh MK,” katanya.

Ia menjelaskan istilah anak alam timbul menjelang pengesahan UU Perkawinan pada akhir tahun 1973 silam. Menurut para pakar perumus UU, anak yang lahir di luar hubungan pernikahan disebut sebagai anak alam. Namun, anak alam tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya.

Amidhan menilai, putusan MK menyinggung dunia fiqih yang selama ini sudah ada. Maka untuk memperkuat hubungan perdata antara Sang Anak dengan bapaknya, harus dibuktikan dengan tes DNA. “Kalau hasil selingkuhan dan anak itu bisa dibuktikan dengan DNA, itu bisa dijelaskan, maka anak ini tanggung jawab suaminya yang menghamilinya,” pungkasnya.

Tags: