Koalisi LSM Dukung Menkumham Ajukan Banding
Berita

Koalisi LSM Dukung Menkumham Ajukan Banding

Koalisi akan melaporkan majelis hakim PTUN Jakarta ke Komisi Yudisial.

ASh
Bacaan 2 Menit
Febri Diansyah (kiri). Foto: SGP
Febri Diansyah (kiri). Foto: SGP

Koalisi Masyarakat Sipil mendukung langkah Kemenkumham mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan Menkumham tertanggal 16 November 2011 bernomor M.HH-07.PK.01.05.04 Tahun 2011 tentang Pengetatan Remisi Terhadap Narapidana Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi. Mereka menilai putusan PTUN bernomor 217/G/2011/PTUN Jakarta yang diajukan tujuh narapidana korupsi ini terdapat sejumlah persoalan mendasar yang diabaikan majelis hakim.

“Kami mendukung Kemenkumham mengajukan banding atas putusan PTUN itu, memang seharusnya Menkumham harus banding, kalau putusan itu dibiarkan inkracht (berkekuatan hukum tetap), ini akan berkontribusi merusak pemberantasan korupsi,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah dalam konperensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Senin (12/3).

Selain ICW, lembaga lain yang tergabung dalam Koalisi yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, (YLBHI) Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Indonesian Legal Rountable (ILR), Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat UGM), Tranparency International Indonesia, dan Pusat Studi Konstitusi FH Universitas  Andalas.

Febri mengungkapkan ada sekitar tiga belas persoalan mendasar yang diabaikan dalam putusan PTUN itu. Ada ketidakcermatan hakim dalam mengklasifikasikan kedudukan para penggugat yaitu Ahmad Hafiz Zamawi (PB 30 Oktober), Bobby Satrio Hardiwibowo S (PB 4 November), Mulyono Subroto (PB 11 Desember), Hesti Andi Tjahyanto (PB 16 Desember), Agus Wijayanto Legowo (PB 16 Desember), Ibrahim (9 Januari 2012), dan Hengky Baramuli (PB 21 November).

“Dari 7 SK Menkumham tertanggal 16 November 2011 tentang Pencabutan Pembebasan Bersyarat (PB), ada sekitar 4 (P4-P7) narapidana yang mendapat PB setelah 16 November 2011, sementara 3 (P1-P3) narapidana lainnya mendapat PB sebelum 16 November 2011,” ungkapnya.

Jadi, jika putusan PTUN menyatakan objek sengketa tertanggal 16 November 2011 ternyata sudah berlaku surut sejak 31 Oktober 2011, sehingga melanggar azas retroaktif, tidak tepat. “Sebenarnya tidak semuanya berlaku surut. Saat kebijakan PB ini diterbitkan, SK tiga orang narapidana seharusnya tidak berlaku karena sudah dibebaskan, sementara PB belum dilaksanakan untuk empat narapidana lain,” kata Febri.

Hakim dinilai tidak mempertimbangkan diktum ketiga dan ketujuh dalam SK yang menyatakan SK berlaku setelah PB dilaksanakan. “Apakah SK Menkumham tertanggal 16 November 2011 bisa dikatakan berlaku surut dan membatalkan PB yang belum dilaksanakan? Sementara hakim menyatakan semua SK berlaku surut,” jelas Febri. “Hakim juga tidak mempertimbangkan aspek pemberantasan korupsi.”  

Menurutnya, hakim juga salah menerapkan hukum dalam hal penggunaan Pasal 24 dan 25 Permenkumham M.01.PK.04-10 Tahun 2007 yang dijadikan dasar hakim untuk membatalkan objek sengketa TUN. Sebab, Pasal 24 dan 25 Permenkumham bisa digunakan jika PB sudah dilaksanakan.

“PB belum bisa dilaksanakan, kecuali yang sudah disebutkan dalam SK-SK itu, misalnya Hengky Baramuli PB-nya tanggal 21 November. Yang melanggar hukum justru majelis hakim PTUN itu sendiri,” tudingnya.


Febri menepis anggapan bahwa putusan PTUN ini menjadi dasar bahwa pengetatan remisi bagi terpidana korupsi tidak bisa lagi dilakukan ke depan. “Penafsiran itu salah total hakim, putusan PTUN ini hanya mengadili tujuh penggugat, tidak mengadili kebijakan pengetatan remisi yang berlaku umum. Pengetatan remisi masih sangat mungkin dilakukan ke depan, tentunya dengan penyempurnaan,” katanya.

Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma menilai bahwa objek yang diperiksa dalam putusan PTUN ini bukanlah objek TUN karena tidak bersifat individual dan belum final sesuai syarat gugatan menurut UU PTUN. “Judulnya Kepmen atau objek sengketa berlaku umum karena tidak diterbitkan khusus bagi orang-orang tertentu. Kepmen masih dapat diajukan upaya keberatan kepada pejabat TUN yang menerbitkan dan upaya banding administrasi dan dalam dictum ketiga objek sengketa disebutkan SK ini masih dapat diperbaiki jika terdapat kekeliruan, ini menunjukkan objek sengketa belum final,” dalihnya.

Ditegaskan Alvon, persoalan SK pencabutan pembebasan persyarat ini bukanlah persoalan HAM yang diatur dalam UUD 1945 dan UU HAM, tetapi menyangkut hak narapidana yang merupakan pemberian dari negara. “Pemohon dan hakim salah memahami soal ini yang seharusnya dibedakan,” kata Alvon.

Jamil Mubarok dari MTI menilai bahwa majelis hakim PTUN melanggar kode etik karena bertindak tidak berprofesional dan melangggar hukum acara. “Makanya, kami dalam minggu ini akan melaporkan majelis hakim PTUN ini ke Komisi Yudisial,” kata Jamil.

Sebelumnya, Kemenkumham menyatakan banding atas putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan pembatalan keputusan Menteri Hukum dan HAM tertanggal 16 November 2011 bernomor M.HH-07.PK.01.05.04 tahun 2011 tentang Pengetatan Remisi Terhadap Narapidana Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi.

Menkumham Amir Syamsuddin menyatakan upaya banding tersebut dilakukan berkaitan dengan pokok perkaranya.  Sementara terkait putusan provisi PTUN yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat ketujuh narapidana korupsi, Kemenkumham tidak mengajukan banding. Amir mengaku, institusinya telah membebaskan tujuh narapidana tersebut.

”Atas putusan provisi penundaan pembebasan itu saya tidak banding, itu sudah saya laksanakan. Tapi untuk pokok perkara saya banding, ini harus dibedakan, jadi jangan dianggap saya tidak konsisten,” ujar Amir di kantornya, Jumat (9/3) lalu.

Jika tidak banding, kata Amir, pihaknya khawatir akan terjadi implikasi yang lebih rumit atas pembebasan bersyarat para narapidana lainnya. Karena dalam PP No 28 Tahun 2006 tentang pengaturan hak warga binaan tak semata-mata mengatur perkara korupsi, tapi juga kejahatan transnasional lainnya, seperti narkoba dan terorisme.

Tags: