MK Tolak “Gugatan” Halimah
Berita

MK Tolak “Gugatan” Halimah

Akil berpendapat alasan cerai bertengkar bertentangan dengan prinsip mempersukar perceraian seperti dianut dalam UU Perkawinan.

ASh
Bacaan 2 Menit
Majelis MK menyatakan menolak permohonan gugatan Halimah. Foto: Sgp
Majelis MK menyatakan menolak permohonan gugatan Halimah. Foto: Sgp

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan pengujian penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan mantan isteri Bambang Trihatmodjo, Halimah Agustina. Pasal ini mengatur alasan perceraian antara suami dan istri terus-menerus bertengkar.

“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di ruang sidang MK, Selasa (27/3).

Putusan majelis diambil tidak dengan suara bulat. Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Ia berkesimpulan dasar permohonan pemohon beralasan hukum dan seharusnya MK mengabulkan permohonan ini karena dampaknya akan mempermudah perceraian seperti yang dialami pemohon.

Dalam pertimbangan, Mahkamah menyatakan ketika terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara pasangan suami istri, maka ikatan batin dalam perkawinan dianggap telah pecah (syiqaq, broken marriage). Meski ikatan lahir, secara hukum masih ada, secara rasional tidak bermanfaat lagi bagi kedua belah pihak maupun bagi keluarganya.

Bahkan dalam kasus tertentu dapat membahayakan keselamatan masing-masing pihak atau keluarga. Karena itu, hukum harus memberikan jalan keluar untuk menghindari keadaan buruk yang tidak diinginkan (saddu al dzari`ah). “Jalan keluarnya yaitu putusnya perkawinan dengan perceraian atau dengan putusan pengadilan sesuai Pasal 38 UU Perkawinan."

Atas dasar itu, Mahkamah berpendapat Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan sepanjang frasa, “Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran ...” justru memberikan salah satu jalan keluar ketika suatu perkawinan tidak lagi memberi manfaat karena tidak lagi sejalan dengan tujuan perkawinan sesuai Pasal 1 UU Perkawinan dan tidak memberikan kepastian dan keadilan hukum sesuai Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak terbukti beralasan menurut hukum."

Mempermudah perceraian
Sebaliknya, Akil berpendapat belajar dari pengalaman negara-negara Barat, adopsi alasan perceraian seperti diatur dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Perkawinan tidak menjamin upaya melanggengkan ikatan perkawinan yang sah bagi warga negara Indonesia.

Apalagi, penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan tidak didukung dengan peraturan pelaksana atau perangkat hukum pendukung dalam upaya penegakan hukum perdata dalam lingkup Peradilan Umum. “Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak mengatur secara rinci ukuran yang menjadi pedoman dalam menentukan adanya perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus itu,” dalih Akil.

Menurutnya, keterbatasan rincian aturan ini merugikan hak konstitusional warga negara Indonesia yang mengajukan gugatan cerai atas alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus melalui Peradilan Umum atau Peradilan Agama. “Ini bisa menjadi celah hukum bagi para pihak karena tidak adanya ukuran dan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan 'perselisihan' dan 'pertengkaran' serta parameter apa yang digunakan untuk mengukur 'terus menerus'."

Dalam praktiknya, celah hukum itu justru mempermudah proses perceraian. Ukuran-ukuran dalam mempertimbangkan adanya “perselisihan”, “pertengkaran”, dan sifat “terus menerus” diserahkan hanya pada subjektivitas hakim tanpa ada norma aturan yang menjadi pedomannya. “Oleh karenanya, proses perceraian seolah menjadi sangat mudah.”

Hal ini bertentangan dengan prinsip yang dianut oleh UU Perkawinan yaitu “prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian” demi mengukuhkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karenanya, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan pemohon.

“Alasan perceraian karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus seperti diatur pasal 19 huruf f dan Pasal 22 ayat (2) PP No 9 Tahun 1975 juga harus dinyatakan inkonstitusional."


Kuasa hukum pemohon, Laica Marzuki enggan berkomentar atas penolakan pengujian  kliennya. “Saya belum tahu, saya sedang di luar kota, jadi saya belum bisa berkomentar,” kata Laica singkat.    

Dalam permohonannya, Halimah menilai penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan merugikan hak konstitusionalnya karena tidak mencantumkan hal-hal yang menjadi penyebab perselisihan/pertengkaran itu terjadi. Hal ini menyebabkan pihak istri kerap merasa dirugikan dalam hal penyebab terjadi pertengkaran itu adalah suami.

Misalnya, suaminya menjalin hubungan gelap dengan perempuan lain seraya meninggalkan tempat kediaman bersama, sehingga pastinya pertengkaran dengan istri yang sah tidak terhindarkan. Karena itu, pemohon meminta agar penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf f sepanjang frasa“antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran” dibatalkan/dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.   

Permohonan ini adalah buntut dari perceraian Bambang Trihatmodjo dan Halimah pada tahun 2007 lalu. Pengadilan Agama Jakarta Pusat telah mengabulkan gugatan cerai talak Bambang kepada Halimah dengan alasan sering terjadi pertengkaran terus-menerus, sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali. Meski gugatan cerai talak sempat dinyatakan ditolak di tingkat banding dan kasasi.

Namun, di tingkat peninjauan kembali (PK) gugatan cerai talak ini kembali dikabulkan dengan alasan yang sama. Saat menggugat cerai talak, Bambang telah tinggal bersama dengan artis Mayangsari (istri Bambang saat ini, red) yang dituding sebagai penyebab pertengkaran. Sementara, Halimah mengaku telah berusaha untuk mempertahankan rumah tangganya.

Tags: