Kejaksaan Patuhi Putusan MK Soal Praperadilan
Berita

Kejaksaan Patuhi Putusan MK Soal Praperadilan

Putusan MK bersifat final and binding. Tentunya, putusan MK itu akan menjadi acuan dalam pembahasan revisi KUHAP ke depan.

Oleh:
Nov/Ash
Bacaan 2 Menit
Gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Foto: ilustrasi (Sgp)
Gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Foto: ilustrasi (Sgp)

Awal Mei lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dalam ketentuan itu, terhadap putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penyidikan atau penuntutan, dapat diajukan banding. Biasanya, yang menjadi pihak termohon dalam praperadilan adalah Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

Dengan adanya putusan MK ini, apabila pengadilan tingkat pertama sudah menetapkan bahwa penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, tidak ada alasan bagi penyidik atau penuntut umum untuk tidak melanjutkan perkara tersebut. Penyidik atau penuntut umum wajib melaksanakan penetapan hakim.

Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan putusan MK bersifat final dan binding (mengikat). Kejaksaan akan mematuhi apapun yang telah diputuskan oleh lembaga yang dipimpin Mahfud MD ini. “Saya kira tentu kami tidak bisa lagi melakukan upaya hukum apapun selain dari pada melaksanakan putusan MK itu,” katanya, Rabu malam, (9/5).

Basrief melanjutkan putusan MK itu akan mempengaruhi pelaksanaan hukum acara untuk permohonan praperadilan. Putusan itu akan menjadi acuan untuk pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke depan. Makanya, jika MK memutus demikian, Kejaksaan tidak dapat lagi mengajukan banding.

Sama halnya dengan Kepolisian dan KPK. Kedua lembaga itu juga tidak dapat lagi mengajukan banding atas putusan praperadilan yang menetapkan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah. Biasanya, penetapan hakim praperadilan ini akan dibarengi oleh perintah untuk melanjutkan sebuah perkara.

Putusan MK ini dibacakan oleh Ketua Majelis Moh Mahfud MD. Pasal 83 ayat (2) KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK beralasan acara praperadilan adalah acara cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding, baik oleh pemohon maupun termohon.

MK menilai Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Pasal 83 ayat (2) KUHAP dianggap telah memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan praperadilan.

Oleh karenanya, MK berpendapat untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP terdapat dua alternatif. Pertama, memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding, atau kedua, menghapuskan hak penyidik/penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding.

MK menilai filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat adalah untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka, terdakwa, penyidik, dan penuntut umum. Karena itu pula, pemberian hak banding hanya kepada penyidik/penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 83 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan MK ini mengabulkan sebagian permohonan pengujian pasal itu yang diajukan anggota polisi bernama Tjetje Iskandar. Tjeje memohon pengujian Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP lantaran dinilai diskriminatif. Pasal itu hanya membolehkan termohon (penyidik/penuntut umum) praperadilan untuk mengajukan banding jika permohonan praperadilan terkait sah-tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan ditolak majelis hakim.

Pasal 83 ayat (1) KUHAP berbunyi, terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding. Sedangkan, ayat (2) menyatakan, dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan, hal itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi.

Berdasarkan ketentuan itu, bagi pemohon yang upaya praperadilannya kandas, tidak tersedia upaya hukum banding. Pengujian pasal itu diajukan Tjeje karena dia pernah mengalami kasus pidana yang dihentikan penyidikan (SP3) lewat Surat Ketetapan No. Pol. S.Tap/20-BupI/VII/2002 tanggal 4 Juli 2002 yang dikeluarkan Direspidum Mabes Polri Brigjen Aryanto Sutadi.

Pemohon mengajukan praperadilan yang memutuskan permohonan praperadilan ditolak lewat putusan No. 27/Pid/Prap/2011/PN Jaksel tanggal 23 Agustus 2011. Dengan demikian, SP3 atas kasus itu tetap dinyatakan sah. Meski Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP melarang pihak pemohon untuk mengajukan banding, Tjetje tetap mengajukan banding atas putusan praperadilan itu.

Sementara itu, juru Bicara MK, M. Akil Mochtar menegaskan pencantuman istilah terdakwa dalam putusan MK itu karena tak jarang pengajuan praperadilan saat proses penuntutan. “Kan Pasal 83 ayat (2) KUHAP menyebutkan proses penghentian penuntutan. Kalau sudah masuk proses penuntutan, seseorang bisa disebut terdakwa,” kata Akil.

Ia menegaskan bahwa jika berkas perkara sudah dinyatakan lengkap (P-21) oleh penuntut umum yang masuk proses penuntutan. “Proses penuntutan ini seseorang tidak bisa disebut tersangka lagi, tetapi sudah berstatus terdakwa hingga disidangkan. Disitu kan sudah ada proses pembuatan surat dakwaan yang menyebut atas nama terdakwa. Makanya, kita masukkan istilah tersangka dan terdakwa dalam putusan itu sesuai cakupan pasal 83 ayat (2) KUHAP,” katanya.          

Tags: