Karya Jurnalistik, Saksi di Pengadilan
Berita

Karya Jurnalistik, Saksi di Pengadilan

Ahli bisa berasal dari Dewan Pers, perusahaan media, maupun organisasi wartawan.

Oleh:
Ash/M-13
Bacaan 2 Menit
Karya jurnalistik dapat dijadikan sebagai kesaksian tanpa kehadiran wartawan di persidangan. Foto: Sgp
Karya jurnalistik dapat dijadikan sebagai kesaksian tanpa kehadiran wartawan di persidangan. Foto: Sgp

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan wartawan tidak perlu hadir dalam sebuah persidangan sebagai saksi. Demikian disampaikan Ridwan dalam Workshop "Memahami Bahasa Hukum dan Sistem Peradilan" di MA Jakarta, Senin (26/6).

Menurut Ridwan, kesaksian wartawan telah terbentuk dalam sebuah karya jurnalistik, baik itu dalam bentuk tulisan, foto atau gambar, maupun video. “Karya jurnalistik dapat dijadikan sebagai kesaksian tanpa kehadiran wartawan di persidangan," katanya.

Ridwan menegaskan bahwa tulisan ataupun foto itulah yang kemudian menjadi saksi dan "berbicara" untuk pembuktian seorang terdakwa. "Biar masyarakat yang menilai apakah benar atau tidak berita itu," kata Ridwan.

Seadainya diperlukan, untuk dikaitkan kebenaran berita tersebut, bukan wartawan yang dimintai keterangan. Tetapi ahli yang didatangkan oleh perusahaan media atau Dewan Pers maupun organisasi wartawan.

Ridwan juga menjelaskan, seorang wartawan dalam laporannya tidak diperkenankan mencampuradukkan antara fakta dengan opini. "Wartawan harus mengacu pada UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam setiap membuat berita yang berimbang," kata Ridwan.

Senada dengan MA, anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi menyatakan jika sengketa mengenai jurnalistik atau delik pers terjadi, maka hakim diminta untuk lebih dahulu mendengar keterangan ahli dari pers. "Serta keterangan ahli mengenai pers yang berasal dari Dewan Pers," ujarnya ketika dihubungi hukumonline.

“Keterangan ahli bisa dua, bisa anggota Dewan Pers atau orang yang ditunjuk oleh Dewan Pers,” jelasnya.

Wina mengingatkan MA telah menerbitkan SEMA No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli. Surat yang ditandatangani Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, Harifin A Tumpa, atas nama Ketua MA, pada 30 Desember 2008.

Kemudian, lanjut Wina, untuk menguatkan SEMA No. 13 Tahun 2008, Dewan Pers sudah membuat peraturan mengenai itu yaitu Pedoman Mengenai Ahli dari Dewan Pers, jadi harus ditetapkan oleh Dewan Pers terlebih dahulu.

Dalam SEMA itu, hakim dapat meminta keterangan dari ahli pers. Tujuannya agar majelis hakim mendapat gambaran yang objektif tentang ketentuan-ketentuan dalam UU Pers.

Karena itu, dalam SEMA itu, majelis hakim yang menangani atau memeriksa perkara terkait delik pers, hendaknya mendengar keterangan ahli pers. Pasalnya, ahli dari pers yang mengetahui seluk beluk pers secara teori dan praktik.

Ditambahkan Wina, Sejak 9 Februari 2012, Dewan Pers juga sudah membuat MoU dengan Polri. Isi MoU adalah koordinasi penegakan hukum dan perlindungan terhadap kemerdekaan pers.

Apabila mengenai sengketa terkait pemberitaan pers, kata Wina, maka Polisi akan berkoordinasi dengan Dewan Pers. Lalu meminta pendapat ahli dari Dewan Pers dan mengutamakan pemakaian UU Pers. “Jadi Dewan Pers sudah melakukan perlindungan kemerdekaan pers,” lanjut Wina.

Sekadar menggambarkan kehadiran pakar atau Dewan Pers ketika memberikan keterangan, mereka akan menyatakan, kasus ini masuk dalam jalur jurnalistik atau bukan.

Walaupun dia wartawan, lanjut Wina, kalau memang melakukan tindak pidana seperti pemerasan, atau penipuan, itu bukan masuk ranah jurnalistik.

Dia mencontohkan tindakan insan pers yang tidak masuk ranah jurnalistik. Beberapa waktu lalu dia mengetahui ada wartawan yang mencuri motor. Ada pula yang membantu kasus narkoba dan menipu Rp1,5 miliar.

“Itu bukan masuk ranah jurnalistik, tapi ranah umum sehingga berlaku hukum pidana pada umumnya termasuk KUHP,” pungkasnya.

Tags: