Kasasi Vonis Bebas, Indonesia Bisa Tiru Eropa
Berita

Kasasi Vonis Bebas, Indonesia Bisa Tiru Eropa

Indonesia dinilai terlalu gampang menerima kasasi terhadap vonis bebas.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung Basrief Arief akui perdebatan tak ada kasasi terhadap putusan bebas terus berkembang. Foto: Sgp
Jaksa Agung Basrief Arief akui perdebatan tak ada kasasi terhadap putusan bebas terus berkembang. Foto: Sgp

Pro kontra kasasi terhadap vonis bebas oleh jaksa penuntut umum masih menuai kontroversi hingga saat ini. Ada yang setuju, tetapi tak sedikit yang menolak. Pasal 244 KUHAP memang melarang kasasi terhadap vonis bebas. Namun, jaksa kerap menggunakan yurisprudensi MA sebagai dasar hukum mengajukan kasasi terhadap vonis bebas yang terkesan mengenyampingkan KUHAP itu.

Jaksa Agung Basrief Arief mengakui wacana atau perdebatan ini terus berkembang di kalangan praktisi hukum. “Paling ramai (yang menolak) dari penasihat hukum (advokat) yang berpendapat seharusnya tak ada kasasi terhadap putusan bebas,” ujarnya ketika menjadi keynote speaker seminar ‘Menggali Alasan dan Dasar Hukum Kasasi terhadap Putusan Bebas’ di Jakarta, Selasa (10/7).

Ia mengungkapkan perdebatan boleh atau tidaknya kasasi terhadap putusan bebas bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Dalam praktik di beberapa negara, lanjutnya, mengajukan upaya hukum terhadap putusan bebas dikaitkan dengan apa yang disebut double jeopardy. Artinya, kurang lebih sama dengan asas ne bis in idem yang dilarang di Indonesia.

Perbedaannya, ne bis in idem sebagaimana dimaksud Pasal 76 KUHP bahwa seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sama, yang sebelumnya sudah diputus oleh hakim. Sedangkan double jeopardy adalah suatu prosedur dalam pembelaan bagi terdakwa bahwa ia tak dapat diadili lagi berdasarkan dakwaan yang sama berdasarkan suatu putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim.

Basrief menjelaskan beberapa negara yang melarang adanya double jeopardy tetap memperbolehkan jaksa mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Misalnya, Piagam Hak dan Kebebasan Kanada yang melarang adanya double jeopardy tetapi pelarangan ini baru bisa diterapkan terhadap putusan yang bersifat final. “Sehingga penuntut umum masih dapat melakukan upaya hukum atas putusan bebas,” ujarnya.

Di negara-negara Eropa juga mengatur hal yang mirip. Kitab Hukum Acara Pidana Jerman bahkan membolehkan adanya penyimpangan terhadap double jeopardy. Yakni, suatu perkara dapat disidang atau diperiksa kembali walau putusannya sudah final, apabila dokumen yang diajukan pada saat persidangan sebelumnya dipalsukan, keterangan saksi atau ahli yang salah, atau terdakwa membuat pengakuan yang dapat dipercaya baik di dalam maupun di luar sidang.

Basrief menambahkan di Belanda, yang merupakan asal dari tradisi hukum Eropa Kontinental yang berlaku di Indonesia, juga memperbolehkan jaksa mengajukan upaya hukum terhadap vonis bebas. Ini juga terjadi di banyak negara Eropa. “Hal ini dikarenakan bahwa upaya hukum terhadap putusan bebas tidak dianggap melanggar asas double jeopardy namun dipandang sebagai suatu kelanjutan dari proses persidangan yang sama,” jelasnya.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji menjelaskan dasar kasasi terhadap putusan bebas adalah yurisprudensi MA. Dalam yurisprudensi MA itu, putusan bebas diklasifikasikan menjadi dua, yakni bebas murni dan bebas tak murni. Yang bisa diajukan kasasi oleh jaksa adalah putusan bebas yang tak murni.

Indriyanto mengakui di Belanda memang diperbolehkan jaksa mengajukan upaya hukum terhadap vonis bebas. Namun, pembatasannya ketat dan pembuktiannya tak gampang. “Di Belanda dari 100 perkara (upaya hukum terhadap vonis bebas) mungkin hanya satu yang dikabulkan hakim. Karena sulit sekali membuktikan bebas murni atau tidak murni,” ujarnya.

Ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Ia menilai penegak hukum di Indonesia, baik jaksa maupun hakim, seakan mudah sekali menentukan suatu perkara itu bebas tak murni. Bahkan, setiap ada vonis bebas, jaksa seringkali langsung menyatakan kasasi tanpa terlebih dahulu mengkaji putusannya. “Di Indonesia ini sepertinya terlalu gampang,” ujarnya.

Juru bicara MA Djoko Sarwoko menilai yurisprudensi tetap yang membolehkan jaksa kasasi vonis bebas perlu dipertahankan. Apalagi, lanjutnya, untuk perkara-perkara korupsi yang kerap membebaskan terdakwanya. Bila kran kasasi terhadap vonis bebas ini ditutup, maka dikhawatirkan akan menciderai keadilan bagi masyarakat.

“Dengan memperhatikan kondisi carut marut penegakan hukum seperti sekarang ini, menurut hemat saya masih sangat relevan untuk mempertahankan kasasi terhadap vonis bebas,” ujarnya.

Djoko membantah bila MA dikatakan dengan mudah menerima kasasi terhadap vonis bebas. Berdasarkan data yang disampaikannya, pada 2010 ada 203 perkara kasasi terhadap vonis bebas/ontslaag yang masuk ke MA, 98 perkara (48,28 persen) dikabulkan, dan 86 perkara (42,28 persen) tidak dapat diterima.

Pada 2011, ada 163 perkara kasasi terhadap vonis bebas/ontslaag yang masuk ke MA, 85 (52,15 persen) perkara yang dikabulkan, dan 62 perkara (38,04 persen) dinyatakan tidak dapat diterima. “Dari data tersebut menggambarkan bahwa tidak semua putusan bebas yang dikasasi dikabulkan oleh MA, sebagian dinyatakan tidak dapat diterima,” pungkasnya.

Sebagai informasi
, perdebatan boleh atau tidaknya jaksa kasasi terhadap vonis bebas juga berlangsung di DPR yang sedang membahas revisi UU Kejaksaan. Dalam draf yang diperoleh hukumonline, revisi UU kejaksaan ini tegas melarang jaksa mengajukan kasasi terhadap vonis bebas. Bila jaksa tetap melakukan itu, maka ada sanksi administratif dan sanksi pidana.

Tags: