‘Banjir’ Larangan dalam Revisi UU Kejaksaan
Utama

‘Banjir’ Larangan dalam Revisi UU Kejaksaan

Wakil Jaksa Agung berharap revisi UU Kejaksaan tak menyentuh hukum acara pidana dan pemidanaan.

Oleh:
Ali Salmande/Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
RUU Kejaksaan mengatur banyak larangan bagi para jaksa. Foto: Sgp
RUU Kejaksaan mengatur banyak larangan bagi para jaksa. Foto: Sgp

Badan Legislasi (Baleg) DPR telah merampungkan draf revisi UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. RUU akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. Setelah itu, pembahasan dengan pemerintah akan dimulai. Dalam draf awal ini, cukup banyak larangan yang ditujukan kepada para jaksa. 

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kejaksaan Dimyati Natakusumah mengatakan sejumlah larangan dicantumkan ke dalam RUU Kejaksaan ini karena banyak oknum jaksa yang menyalahgunakan diskresi dan kewenangan yang dimilikinya. “Jaksa jangan gampang mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan, red) dan jangan gampang melakukan penetapan seseorang menjadi tersangka,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (9/4).

Dalam draf RUU yang diperoleh hukumonline, setidaknya ada 13 poin larangan untuk jaksa yang dicantumkan dalam RUU Kejaksaan. Padahal dalam UU Kejaksaan saat ini hanya memuat larangan rangkap jabatan (larangan berikutnya diatur dalam peraturan pemerintah). Tiga belas poin larangan dalam RUU Kejaksaan itu diatur Pasal 37 J dan Pasal 37 K.

Pasal 37 J ayat (1) menyatakan ‘Dalam melaksanakan tugasnya, jaksa dilarang: a. menangani perkara yang ada kaitannya dengan kepentingan pribadi atau keluarga, pekerjaan, partai, finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung; b. bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun; c. membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan hukum;

Selanjutnya larangan untuk: d. menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain; e. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara; f. menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis; dan g. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta menyuruh keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya.

Berdasarkan Pasal 37 J ayat (2) dan (3) bila larangan dalam poin a, b dan c ini dilanggar maka sejumlah sanksi sudah menunggu. Yakni, sanksi administratif berupa pembebasan dari tugas-tugas jaksa paling singkat 1 (satu) tahun dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Larangan untuk jaksa tak hanya diatur dalam pasal tersebut. Pasal 37 K berbunyi ‘Jaksa dilarang melakukan: a. penyidikan; b. penangkapan; c. penahanan;  d. penuntutan; e. pengajuan kasasi atas putusan bebas; dan/atau f. upaya hukum peninjauan kembali; tanpa alasan berdasarkan undang-undang, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya.

Kasasi Vonis Bebas
Dimyati menjelaskan bahwa larangan-larangan itu agar jaksa bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila KUHAP tak membolehkan jaksa mengajukan kasasi atas vonis bebas atau peninjauan kembali (PK), maka sebaiknya jaksa mematuhi ketentuan itu. Politisi PPP ini menyadari bila ada yurisprudensi yang membolehkan jaksa kasasi vonis bebas dan mengajukan PK.

“Yurisprudensi itu bagian dari sumber hukum lainnya dan jadi pegangan dan patokan, tapi jangan melanggar undang-undang atau mengada-ada. Apabila kesalahan dilakukan oleh oknum terdahulu jangan dilakukan berulang-ulang,” tegasnya.

Dimintai tanggapannya, Wakil Jaksa Agung Darmono berpendapat UU Kejaksaan itu adalah UU yang sifatnya mengatur tentang administrasi kelembagaan negara. Ia menilai semestinya dan diharapkan UU Kejaksaan ke depan tak menyentuh substansi bidang penegakan hukum baik hukum acara pidana apalagi materi pemidanaan. Meski begitu, ia menilai pembahasan ini masih panjang.

“Tidak masalah, itu kan baru draf. Masih akan ada proses panjang dalam pembahasannya,” pungkasnya. 

Tags:

Berita Terkait