Kode Perilaku Diluncurkan, Jaksa Dibatasi Berbicara
Berita

Kode Perilaku Diluncurkan, Jaksa Dibatasi Berbicara

Tujuannya untuk mengakhiri perang opini antar jaksa dan advokat. Larangan jaksa untuk membentuk opini dan terbatas pada teknis perkara perlu diperjelas agar jaksa tak takut.

Ali/Kml
Bacaan 2 Menit
Kode Perilaku Diluncurkan, Jaksa Dibatasi Berbicara
Hukumonline

 

Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) MS Raharjo memang mengakui advokat sering membangun opini di luar persidangan. Tetapi ia menolak bila larangan dalam Perja ini akan memperlemah posisi jaksa dalam menghadapi advokat. Itu sudah konsekuensi kita, ujarnya.

 

Menurut Raharjo, kita harus berpijak kepada fakta yang ada di persidangan. Tidak boleh opini, ujarnya. Dengan meyakinkan kepada fakta di persidangan, itulah kekuatan jaksa, tambahnya.

 

Advokat senior Adnan Buyung Nasution berpendapat senada. Menurutnya bila jaksa menjelaskan kepada masyarakat melalui pers, harus yang wajar-wajar saja. Bukan untuk menghasut dan membakar opini masyarakat, ungkapnya. Misalnya, membangun simpati publik untuk mendukung Kejaksaan dalam suatu perkara. Atau membangun opini seseorang pasti bersalah.

 

Buyung mengingatkan kewajiban hukum jaksa hanya untuk menuntut. Itulah objektifitas posisi dan peranan jaksa, ujarnya kepada hukumonline. Sedangkan salah atau tidaknya seseorang, lanjutnya, merupakan wewenang hakim sepenuhnya.

 

Sementara itu, Ketua Dewan Kehormatan Peradi Leonard Simorangkir mengamini pembatasan itu merupakan suatu hal wajar. Ia mengungkapkan posisi jaksa dan advokat berbeda. Jaksa itu kan birokrasi yang hirarki, sedangkan advokat berdiri sendri, ujarnya.

 

Teknis perkara?

Namun, Buyung menyayangkan penggunaan frasa teknis perkara saja yang bisa diungkapkan kepada publik. Menurutnya, pengertian frasa itu sangat sempit. Seharusnya bukan teknis semata, ujarnya. Seharusnya menyangkut juga latar belakang, materi perkara, dan proses yang akan ditempuh.

 

MS Raharjo mencoba menjelaskan maksud Perja. Misalnya, saat persidangan perkara Widjanarko, ya jaksa hanya boleh menjelaskan apa yang terjadi di persidangan saja, ujar pejabat yang bertanggung jawab dalam penegakan kode perilaku jaksa ini. Menanggapi pejelasan ini, Ketua MaPPI Hasril Hertanto justru menyarankan ada aturan turunan yang memperjelas maksud dari teknis perkara. Pembatasan itu memang perlu, tetapi harus ada turunannya yang lebih jelas pengaturannya, ujarnya.

 

Memang ketentuan Perja soal pembatasan itu tidak rinci. Sehingga dikhawatirkan penafsiran beragam membuat khawatir para jaksa untuk berbicara kepada pers karena takut melanggar kode perilaku. Nanti tidak ada keberanian berbicara kepada publik, ujar Hasril.

 

Buyung sepakat dengan Hasril untuk memperjelas arti dari frase teknis perkara. Namun cara yang ditawarkannya berbeda. Cukup dengan penjelasan atau briefing dari Jaksa Agung kepada jajaran Kejaksaan mengenai makna dari kode etik ini, ujarnya. Jadi jaksa tidak merasa dibatasi secara kaku dan sempit sehingga tidak bisa bergerak.

 

Satu kesatuan

Hasril mengungkapkan pembatasan jaksa dalam memberikan keterangan kepada publik sedikit banyak dipengaruhi penafsiran UU Kejaksaan yang menyatakan Kejaksaan merupakan satu dan tidak terpisahkan. Kemudian ditafsirkan informasi harus melalui satu mulut, yaitu Kapuspenkum, ujarnya.

 

Buyung berpendapat informasi satu muara ini sangat besar kegunaannya. Maksudnya untuk memberikan penjelasan resmi kepada masyarakat atau pers tentang berbagai latar belakang perkara yang ditangani oleh Kejaksaan. Baik mengenai materi, proses yang ditempuh, maupun siapa yang terlibat, ujarnya. Pria berambut putih ini adalah pejabat pertama Kapuspenkum - dulu bernama Purel alias Publik Relation Kejagung.

 

Namun Hasril mengungkapkan ada penyimpangan dari sistem informasi satu muara ini. Ada satu Kepja (Keputusan Jaksa Agung) pada zaman Jaksa Agung Ismail Saleh yang melarang jaksa untuk memberikan keterangan apapun di muka pers atau publik. Kepja itu sampai saat ini belum dicabut, jelasnya.

Tekad untuk memperbarui Kejaksaan kembali dicanangkan. Sesuai rencana, kemarin (23/7) Jaksa Agung Hendarman Supandji meluncurkan enam aturan untuk mendukung pembaruan Kejaksaan. Salah satu aturan yang diluncurkan tersebut adalah Peraturan Jaksa Agung (Perja) Kode Perilaku Jaksa.

 

Perja Kode Perilaku Jaksa tersebut memuat kewajiban dan larangan bagi jaksa dalam menjalankan tugasnya. Fokus kepada larangan, ada dua yang disoroti beberapa pihak. Yaitu, larangan ‘membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan hukum' dan jaksa hanya boleh ‘memberikan keterangan kepada publik terbatas pada hal-hal teknis perkara yang ditangani'.   

 

Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengaku larangan-larangan seperti itu cukup baik untuk memperbaiki sistem hukum Indonesia. Kalau yang dikemukakan sepanjang data-data saja itu diperbolehkan, asal bukan opini, ujarnya.

 

Tetapi Arman, sapaan akrabnya, mengungkapkan yang terjadi seringkali perang opini di media yang tidak menyangkut substansi perkaranya. Ia mencontohkan, salah seorang pengacara yang menangani perkara H M Soeharto berkomentar perkara Soeharto ini hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat. Nanti kalau dibalas oleh jaksa, bisa rusak sistem hukum kita, jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: