KPPU Ralat Tudingan Ada Kartel Kedelai
Utama

KPPU Ralat Tudingan Ada Kartel Kedelai

Dikerucutkan kartel kedelai terjadi dalam rantai distribusi komoditi penting ini.

Oleh:
happy rayna stephany
Bacaan 2 Menit
KPPU ralat tudingan ada kartel kedelai. Foto: Sgp
KPPU ralat tudingan ada kartel kedelai. Foto: Sgp

Lain hari, lain sikap ditujukkan lembaga pengawas persaingan usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kala gonjang ganjing akan lonjakan harga kedelai berada pada suhu tinggi, KPPU ikut bicara.

Ketua komisi, Tadjuddin Noersaid melontarkan pernyataan ada indikasi kartel sebagai sebab naiknya harga komoditi. Tapi, dalam diskusi di hadapan Perum Bulog dan Kementerian Perdagangan, Selasa (14/8), tak ada penajaman akan pernyataan awal.

Tapi kali ini Tadjuddin menekankan, sekalipun KPPU berwenang menentukan ada atau tidaknya kartel kedelai, hal itu harus dibuktikan lebih dulu. Dia juga akui, untuk membuktikan adanya kartel, adalah hal yang sulit. “Kita akan kaji ulang apakah indikasi kartel kedelai memang ada atau tidak,” katanya.

Dia akui pernyataan adanya indikasi kartel karena ada dimensi politik terkait kenaikan harga kedelai. Menurut dia, jika harga kedelai naik, pemerintah bisa intervensi pasar guna meredam lonjakan harga. Karena tindakan itu dimungkinkan menurut Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 51 UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Tetapi, karena pemerintah terikat letter of intent dengan IMF, maka mekanisme pasar harus dilakukan. Negara, menurutnya harus punya peranan untuk intervensi pasar. “Karena itu amanat konstitusi serta termuat dalam Pasal 51 UU persaingan usaha,” tegasnya.

Faktor Alam
Mengenai indikasi adanya kartel kedelai, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Ardiansyah Parman dalam kesempatan sama membantahnya. Menurut dia, lonjakan harga komoditi itu karena faktor alam.

Seperti karena kekeringan yang melanda di Amerika Serikat dan sebagian Amerika Latin. Hal ini pun mengakibatkan penurunan produksi kedelai dunia yang mencapai ke angka 11 persen. Insiden ini diperparah lagi dengan produksi kedelai nasional yang terus merosot.

Ardiansyah membeberkan sejak 1993 sampai dengan 2011, terjadi penurunan produksi kedelai nasional. Penurunan terbesar terjadi di Lampung sebanyak 17,83 persen, Sumatra Barat  sebesar 13,53 persen, dan Sumatra Utara sebesar 10,60 persen. Juga terjadi di semua daerah Indonesia pada periode sama.

Tetapi, kebutuhan sejak 2000 sebagian besar dipasok AS dan harus bersaing dengan tiga negara lain, yaitu Cina, Meksiko, dan Jepang. Pasalnya, ketiga negara ini lebih banyak menerima pasokan kedelai dari AS. Urutan pertama negara tujuan ekspor AS adalah Cina. Kedelai untuk pasar Cina dipasok AS sebesar 61,50 persen, Meksiko sebanyak  8,74 persen, dan Jepang membutuhkan 5,24 persen. Indonesia berada di peringkat keempat negara yang mengimpor sebanyak 5,11 persen dari total impor kedelai asal AS. Menyusul Taiwan sebanyak 3,57 persen dan Mesir sebesar 2,13 pengawas.

Meroketnya harga kedelai di pasar lokal Indonesia semakin dipersulit dengan petani lokal yang enggan menanam kedelai. Petani lokal lebih memilih memproduksi tebu, padi jagung, dibandingkan kedelai. Soalnya, komoditi selain kedelai lebih menguntungkan. Lebih lanjut, kesulitan ini pun ditambah dengan adanya keterbatasan lahan.

Hal ini membuat persaingan semakin berat. Petani lalu beralih menanam tebu, padi, jagung, dibandingkan kedelai. Di lain pihak ada keterbatasan lahan. “Setiap tahun terjadi perubahan alih fungsi lahan dari pertanian jadi nonpertanian, sebesar 100ribu hektar per tahun,” tutur Ardiansyah.

Ardiansyah menyatakan kenaikan harga kedelai ini pernah terjadi pada tahun 2008. Tapi dapat diredam pemerintah dengan pembebasan bea masuk kedelai melalui PMK No. 1/PMK.011/2008, penurunan pajak penghasilan impor kedelai sebesar 2,5 persen menjadi 0,5 persen. Ditambah dan penjualan bahan baku kedelai bersubsidi sebesar Rp1000 per kg bagi pengrajin tahu atau tempe dalam enam bulan. “Kita berharap polanya terjadi juga di tahun ini,” imbuhnya lagi.

Ardiansyah juga berharap masalah ini bisa dicari jalan keluar yang saling menguntungkan. Pasalnya, Indonesia pernah menduduki puncak produksi kedelai, yaitu pada 1992 yang mencapai angka 1,87 juta ton. Setelah itu, terus mengalami penurunan.

“Petani jangan terus ditekan. Mereka juga ingin hidup sejahtera. Pengrajin ingin murah, petani ingin naik. Jadi, mari kita bicarakan solusinya agar produksi meningkat dan konsumen mampu membelinya,” pungkasnya.

Perluas Sentra Produksi
Satwiko Darmesto, Direktorat Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kenaikan harga kedelai memang karena produksi kedelai secara nasional belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, Indonesia masih harus terus mengimpor kedelai.

Bergantungnya Indonesia pada impor kedelai yang meningkat secara mencolok karena adanya stagnasi produksi kedelai dan konsumsi terus meningkat. Oleh karena itu, pemerintah memperluas sentra produksi kedelai lokal di Indonesia.

“Setiap tahun Indonesia melakukan impor kedelai dan importir kedelai cukup banyak. Untuk itu, harus dibuktikan apakah memang ada kartel di dalamnya. Hal ini perlu diselidiki lebih lanjut,” tukas Satwiko.

Tags:

Berita Terkait