Eksekusi Putusan Batal Demi Hukum di Mata Ahli Pidana
Utama

Eksekusi Putusan Batal Demi Hukum di Mata Ahli Pidana

Pemerintah berpendapat putusan MA tetap bisa dieksekusi meski tak memenuhi Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Sidang pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP di gedung MK. Foto: ilustrasi (Sgp)
Sidang pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP di gedung MK. Foto: ilustrasi (Sgp)

Ahli hukum pidana, Yahya Harahap berpendapat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dalam amar putusan pengadilan adalah batal yang bersifat absolut/mutlak. “Putusan itu sejak semula tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang,” kata Yahya Harahap saat menjadi ahli dalam pengujian pasal itu di Gedung MK, Rabu (5/9). 

Ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP memuat 12 poin yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan. Apabila salah satu poin tidak termuat dalam putusan, maka mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Selengkapnya, Pasal 197 ayat (1) huruf k berbunyi, “Surat putusan pemidanaan memuat : k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.”

Yahya menegaskan kebatalan putusan pengadilan yang bersifat mutlak ini tidak melihat apakah itu putusan tingkat pertama, banding, atau kasasi. Putusan itu tetap dianggap sebagai putusan yang tidak sah dan tidak pernah ada, sehingga tidak memiliki kekuatan daya hukum mengikat (eksekutorial) kepada terpidana.

Menurut ahli yang dihadirkan pemohon ini, apabila jaksa tetap mengeksekusi putusan batal demi hukum berarti jaksa telah bertindak sewenang-wenang, inkonstitusional, dan melanggar HAM. “Eksekusi terhadap putusan yang batal demi hukum nyata-nyata melanggar pilar negara hukum karena melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945,” tutur Yahya.

Karena itu, ia menilai putusan PK No. 157 PK/Pid.Sus/2011 yang tidak mengoreksi/meluruskan putusan kasasi No. 1444/Pid.Sus/2010 yang tidak memuat perintah penahanan merupakan putusan yang batal secara mutlak, sehingga tidak melekat kekuatan eksekutorial. “Seharusnya putusan PK memperbaiki putusan kasasi dengan menyatakan ‘mengadili sendiri’ dengan dan ‘membatalkan’ putusan kasasi No. 1444. Ini sesuai yurisprudensi putusan MA No. 169 K/Pid/1988,” ujar mantan hakim agung ini.

Ahli pemohon lainnya, Mudzakkir menilai norma Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP bersifat imperatif yang harus ditaati pengadilan pada semua tingkatan termasuk MA dalam membuat putusan yang berisi pemidanaan. “Apabila putusan pemidanaan itu tidak memuat materi Pasal 197 ayat (1) huruf k ini, maka putusan pemidanaan itu batal demi hukum dan tidak dapat dieksekusi, jika tetap mengeksekusi bentuk pelanggaran hukum,” katanya.

Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta ini berpendapat konstitusionalitas Pasal 197 ayat (1) huruf k ini sudah memenuhi konstruksi hukum yang memberi jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa/terpidana.

Sebelumnya, dalam tanggapannya, pemerintah menganggap putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP pada tingkat Mahkamah Agung (MA), bukan berarti putusan itu tidak bisa dieksekusi.

“Putusan yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP pada tingkat MA tetap sah dan tetap bisa dieksekusi. Lagi pula pengujian undang-undang ini tidak menyangkut persoalan konstitusionalitas norma, lebih menyangkut penerapan hukum,” kata Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi.

Menurut dia, ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP itu hanya berlaku bagi pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT), sehingga tidak berlaku bagi MA. “Ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP itu berada dalam Bab XVI KUHAP yang mengatur pemeriksaan di sidang pengadilan, bukan MA,” katanya.

Putusan MA, lanjutnya, adalah putusan akhir yang langsung dapat dieksekusi meski tanpa mencantumkan hal-hal yang termuat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.

Permohonan pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k, dan ayat (2) KUHAP ini diajukan terpidana kasus perambahan hutan, H Parlin Riduansyah. Lewat kuasa hukumnya, Parlin meminta MK membatalkan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP karena bertentangan dengan UUD 1945. Spesifik, pemohon meminta Pasal 197 ayat (1) huruf k harus ditafsirkan berlaku untuk semua tingkat peradilan.

Pemohon merasa berlakunya Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP bersifat multitafsir, sehingga menghilangkan hak pemohon atas jaminan due process of law dan kepastian hukum yang adil. Pasal itu bersifat perintah yang memaksa yang harus dicantumkan pada semua putusan pemidanaan untuk semua tingkat pengadilan (tingkat pertama, banding, kasasi/PK). 

Menurutnya, putusan pemidanaan yang tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” seharusnya batal demi hukum. Putusan itu sejak semula dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial yang tidak dapat dieksekusi jaksa.

Sebelumnya, Parlin divonis tiga tahun penjara dalam kasus perambahan hutan di Kalimantan Selatan lewat putusan PK No. 157 PK/Pid.Sus/2011 tertanggal 16 September 2011 yang sebelumnya di tingkat pertama dinyatakan bebas. Yusril yang juga menjadi kuasa hukum Parlin menolak eksekusi dengan dalih tidak memenuhi syarat formal Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yakni tidak memuat perintah penahanan dalam putusan PK itu.

Tags: