MK Tolak Pengujian UU PTUN
Berita

MK Tolak Pengujian UU PTUN

MK menegaskan pembatasan keputusan TUN diperlukan agar tidak semua keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN dapat digugat di PTUN.

ASH
Bacaan 2 Menit
MK Tolak Pengujian UU PTUN
Hukumonline

Kandas sudah upaya Benny Kogowa mempersoalkan Pasal 1 angka 9 dan Pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) jo UU No. 51 Tahun 2009, melalui pengujian undang-undang di MK. Dalam sidang pembacaan putusan, Selasa (5/2), majelis MK menyatakan menolak permohonan Benny.

Untuk diketahui, permohonan ini sebenarnya berkaitan dengan kekecewaan Benny yang gagal terpilih sebagai unsur pimpinan DPRD Tolikara dari Partai Demokrat. Benny merasa diperlakukan tidak adil karena unsur pimpinan DPRD Tolikara dikuasai oleh Partai Golkar. Makanya kemudian, Benny menggugat Keputusan Gubernur No. 174/2009 tanggal 11 Desember 2009 yang menjadi dasar penetapan unsur pimpinan DPRD Tolikara.

Gugatan itu didaftarkan di PTUN Jayapura. Pada tingkat pertama, Benny menang. Keputusan Gubernur itu dinyatakan bertentangan dengan Pasal 335 UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPR (UU MD3).

Namun, oleh PTTUN Makassar yang dikuatkan oleh MA, gugatan Benny dinyatakan tidak dapat diterima. Alasannya, Keputusan Gubernur yang dipersoalkan Benny bukan objek PTUN menurut Pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 karena merupakan kelanjutan dari proses pemilu yang dilakukan oleh KPU yang menjadi bagian dari keputusan politik. Kecewa atas putusan MA, Benny lalu menguji UU PTUN ke MK.

Dalam persidangan, Selasa (5/2), Mahkamah berpendapat pembatasan keputusan TUN sebagaimana diatur Pasal 2 huruf g UU PTUN diperlukan agar tidak semua keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN dapat digugat di PTUN. Sebab, keputusan TUN yang dimaksud sangat berkaitan dengan lembaga lain.

Pasal 2 huruf g UU PTUN menyebutkan tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN adalah keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. 

Menurut Mahkamah, pengajuan pembatalan pasal itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pembatalan pasal itu juga akan menimbulkan dualisme kewenangan lembaga dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum yakni PTUN dan MK. Kewenangan PTUN mengadili perselisihan hasil pemilihan umum apabila tidak ada Pasal 2 huruf g UU PTUN, didasarkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN.

“Sementara kewenangan MK mengadili perselisihan hasil pemilihan umum didasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK jo Pasal 29 ayat (1) huruf d UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karenannya, permohonan pemohon tidak beralasan hukum,” tutur Hakim Konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi.

Saat pembacaan putusan ini, pemohon atau kuasanya tidak menghadiri sidang. 

Tags: