RUU Penyiaran Harus Larang Iklan Rokok
Berita

RUU Penyiaran Harus Larang Iklan Rokok

Guna melindungi anak-anak dari zat adiktif.

ADY
Bacaan 2 Menit
RUU Penyiaran Harus Larang Iklan Rokok
Hukumonline

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Konsosrsium Perlindungan Anak dari Zat Adiktif mendesak Komisi I DPR dan pemerintah mencantumkan ketentuan yang melarang iklan rokok dalam RUU Penyiaran. Larangan itu meliputi iklan, promosi dan sponsor rokok. Menurut Komisioner KPAI bidang Kesehatan, Iswandi Mourbas, larangan itu bertujuan melindungi anak-anak yang ditargetkan industri rokok menjadi perokok.

Ketentuan yang mengatur larangan iklan rokok selaras dengan pasal 50 dan 67 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak yang menjadi korban zak adiktif, termasuk rokok. Pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok di lembaga penyiaran adalah upaya pencegahan meningkatnya prevalensi perokok anak. Menurut Iswandi, jumlahnya terus meningkat dalam lima tahun terakhir. “Dari 13,7 persen di tahun 1995 menjadi 38,4 persen di tahun 2010,” tegasnya dalam jumpa pers di kantor KPAI Jakarta, Jumat (22/11).

Iswandi menjelaskan, hampir 90 persen anak-anak melihat iklan rokok di televisi. Hal itu menunjukan pengaturan penayangan iklan rokok tergolong tidak efektif. Saat ini, lembaga penyiaran hanya dilarang menampilkan wujud rokok di televisi pada jam 21.30 sampai 05.00. Walau aturan itu ditujukan agar anak-anak tidak melihat iklan rokok di televisi, faktanya tidak demikian. Menurut dia, televisi yang menggunakan frekuensi publik harusnya mendukung perlindungan kepada anak-anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal sesuai mandat pasal 28 B ayat (2) UUD RI 1945.

KPAI dan Konsosrsium berharap RUU Penyiaran yang sekarang dibahas di Komisi I DPR memperhatikan aspek perlindungan anak. Caranya, mencantumkan ketentuan dalam RUU Penyiaran yang melarang siaran iklan, promosi dan sponsor rokok di lembaga penyiaran. Sehingga, dapat mencegah anak-anak menjadi korban eksploitasi zat adiktif, seperti rokok.

Selain itu KPAI dan Konsorsium merekomendasikan DPR serta Pemerintah untuk menghapus pasal 80 huruf (f) RUU Penyiaran. Sebab ketentuan itu hanya melarang lembaga penyiaran menyiarkan iklan yang menampilkan wujud rokok. Harusnya ditambahkan frasa “rokok” dalam pasal 80 huruf (d) sehingga semua promosi zat adiktif, termasuk rokok dilarang disiarkan lembaga penyiaran. Baik dalam bentuk iklan, penempat paduan produk dan infomersial. “Jadi dikatakan secara jelas bahwa rokok adalah zat adiktif,” ucap Iswandi.

Pada kesempatan yang sama tim ahli KPAI, Muhammad Joni, mengatakan dalam RUU Penyiaran, iklan rokok harus dilarang. Sebab mengacu UU Kesehatan dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait rokok ditegaskan bahwa rokok merupakan zat adiktif. Bahkan industri rokok di dunia mengakuinya. Mengingat zat adiktif bersifat racun, maka tidak logis jika diiklankan.

Selain itu Joni menjelaskan, ketika sebuah UU direvisi, mestinya ada kemajuan normatif. Maka itu DPR dan Pemerintah harus mencantumkan norma-norma hukum yang lebih baik secara substansi dalam memperbaiki UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Misalnya, mengadopsi seluruh putusan MK terkait rokok.

Tags:

Berita Terkait