Pemerintah Harus Waspadai Hot Money
Berita

Pemerintah Harus Waspadai Hot Money

Sepuluh tahun kepimpinan SBY tidak memberikan nilai positif bagi perekonomian negara.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Harus Waspadai Hot Money
Hukumonline

Sepuluh tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan periode yang cukup untuk membuktikan prestasi kerjanya. Beragam ide reformasi digulirkan guna membangun tata pemerintahan yang berkualitas, transparan dan akuntabel. Namun 10 tahun memimpin, SBY tidak memberikan nilai positif bagi perekonomian bangsa.

Pengamat Ekonomi CIDES Umar Juoro mengatakan, Indonesia telah menjadi flavor of the day untuk financial hot money yang bersikulasi dengan cepat. Investasi yang datang dengan cepat, kemudian juga cepat pergi seperti yang terjadi di bursa Efek Jakarta,  harusnya diwaspadai oleh pemerintah. Sayang, kondisi tersebut malah membuat pemerintah 'bangga' bahwa uang investasi tersebut tertarik dengan bursa efek Jakarta.

"Seharusnya Indonesia waspada terhadap investasi 'datang cepat, cepat pergi'," kata Umar dalam Paparan Akhir Tahun CIDES dengan tema "Evaluasi Pemerintahan SBY Jilid II : Masihkah Ada Harapan Publik Terhadap Pemerintahan SBY" di Jakarta, Selasa (10/12).

Menurut Umar, tak ada alasan investasi tersebut mengalir ke Indonesia selain hanya untuk berspekulasi sementara. Harusnya, pemerintah berhati-hati dengan investasi semacam ini. Pasalnya, investasi ini tidak menambah jumlah investasi di sektor riil serta muara uang seperti inilah yang membuat krisis finansial 1997-1998.

Ditambah, lanjutnya, masa pemerintahan SBY dinilai punya penyakit mentalitas 7 persen. Ada dua sisi dari slogan tersebut, pertama konsep bahwa Indonesia hanya mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen saja. Target di atas 7 persen dianggap sebagai mimpi. Kedua, jika Indonesia bisa mencapai 7 persen, ini dianggap cukup untuk membuat masa depan jauh lebih baik.

"Indonesia tidak ada alasan yang relevan selain tidak mau membuat perubahan supaya memang ada kinerja ekonomi yang lebih tinggi seperti di China dan India yang bisa mencapai pertumbuhan 10 persen ke atas," ujarnya.

Hingga saat ini, lanjut Umar, Indonesia membutuhkan calon presiden atau partai yang memiliki 'Visi Indonesia 2045'. Jika pemerintah masih berkutat dan merasa puas dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen, diyakini rakyat harus menunggu lama untuk keluar dari kemiskinan.

Tags: