Mendobrak Batas Kerahasiaan Bank
Fokus

Mendobrak Batas Kerahasiaan Bank

Akses terhadap data nasabah bank penting untuk mengurangi upaya penghindaran pajak dan penyembunyian kekayaan.

Oleh:
FNH/MYS/M-16
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES
Magda Safrina hanya ingin memperjuangkan haknya sebagai isteri. Tetapi perjuangan perempuan asal Aceh ini tak sia-sia. Dialah salah seorang warga yang berhasil ‘mendobrak’ batas rahasia bank di Indonesia. Pada umumnya bank di Indonesia amat mendewakan kerahasiaan data nasabahnya. Jargon ‘rahasia’ pula yang dipakai bank sebagai senjata menolak jika ada pihak lain yang ingin mengetahui kekayaan seseorang di bank.

Penolakan itu pula yang dialami Magda Safrina saat ingin mengetahui tabungan keluarga yang kebetulan dibuat atas nama suaminya. Bank menolak karena Safrina sudah dalam proses perceraian. Padahal Safrina justru ingin memastikan berapa harta bersama alias gono gini mereka di bank yang selama ini disimpan di bank. Bank menggunakan amunisi Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Berdasarkan pasal ini, bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A. Dari pasal-pasal tersebut terungkap hanya dalam perkara pidana data nasabah boleh dibuka. Kalaupun ada dalam perkara perdata, yakni Pasal 43, lebih menitikberatkan pada sengketa antara bank dengan nasabah.

Safrina mempersoalkan rumusan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan ke MK. Dan upayanya berhasil. MK memutuskan rahasia bank bisa diterobos untuk kepentingan pembuktian harta bersama di peradilan perdata. Putusan itu mendapat apresiasi dari banyak kalangan.

Tak kurang, Dirjen Peradilan Agama Purwosusilo dan Kepala Biro Humas Bank Indonesia Dhifi A. Johansyah. Purwosusilo menyebut putusan Mahkamah sebagai putusan yang progresif. Dhifi menyebut kerahasiaan nasabah tetap harus dijaga, tetapi harus ada pengecualian-pengecualian. Sehingga akses terhadap data nasabah tidak kaku dan harga mati.

Akses DJP
Upaya ingin mendobrak batas rahasia bank kini kembali diperjuangkan. Kali ini, pihaknya adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. DJP sudah mengungkapkan secara terbuka keinginan itu. Dirjen Pajak Fuad Rahmany bahkan sudah sounding kepada sejumlah anggota DPR.

Usulan DJP dilatarbelakangi keinginan menggenjot pendapatan pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh). Maklum pendapatan pajak belum mencapai target. Apalagi pada 2014, target penerimaan pajak naik menjadi Rp1.142 triliun, naik dibanding Rp995,2 triliun pada 2013.  Untuk mencapai target itu, berbagai upaya dilakukan DJP. Salah satunya, menyasar potensi penerimaan dari Wajib Pajak (WP) yang punya rekening simpanan di bank. Bayangkan, hingga 30 Agustus 2013, penerimaan PPh untuk orang pribadi/pengusaha hanya Rp3,27 triliun, berada di bawah setoran PPh badan sebesar Rp101,18 triliun.

Sebenarnya, DJP tak sepenuhnya haram mengakses data nasabah. Pasal 41 UU Perbankan 1998 menyebutkan: “Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak”.

DJP ingin akses itu tak sebatas penyidikan pidana perpajakan, tetapi juga penggalian potensi pajak dan penagihan. Dengan begitu, peluang mendapatkan pajak dari WP yang punya simpanan di bank bisa lebih besar, sekaligus menekan upaya penghindaran pajak.

Jika terealisasi, keinginan DJP bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi menggenjot pendapatan pajak, dan di sisi lain bisa menimbulkan kebocoran data nasabah. Data nasabah bank secara yuridis harus dirahasiakan. Kalau data bocor, yang terjadi kemungkinan moral harzard, kepercayaan masyarakat terhadap bank turun.

Itu pula yang dikhawatirkan Yustinus Prastowo, pengamat perpajakan dari Perkumpulan Prakarsa. “Yang jadi persoalan adalah trust. Apakah kalau dibuka akses, tidak akan disalahgunakan?” 

Kecenderungan di belahan dunia sekarang memang membuka akses, termasuk di Swiss, negara yang dikenal sangat ketat menerapkan rahasis bank. Organisasi Negara-negara untuk Kerjasama dan Pembangunan (OECD) malah sudah melansir Base Erosion and Profit Shifting yang menunjukkan kesadaran pentingnya akses pajak ke dunia perbankan.

Direktur P2 Humas DJP, Kismatoro Petrus, menepis kekhawatiran itu. potensi moral harzard jika rahasia bank diterobos bisa dicegah dengan pengawasan ketat. Petrus menyebut KPK bisa terlibat langsung mengawasi DJP. Lagipula, kalau diberi akses, yang punya akses di DJP hanya satu orang, tidak setiap pemeriksa pajak, sehingga kalau terjadi kebocoran data nasabah bisa dilacak dengan cepat.

Yustinus Prastowo menyarankan agar klausula kerahasiaan yang ingin diterobos DJP diatur dengan jelas dan rinci. Termasuk membuat jelas definisi atau batasan kepentingan perpajakan. Selain itu, harus jelas pula siapa yang diberi wewenang akses. Jika usulan DJP diterima, harus pula ada klausula expire barter.

“Semacam maklumat yang melindungi WP bahwa data perbankannya hanya digunakan untuk kepentingan perpajakan secara spesifik, dan kalau terjadi penyalahgunaan harus dijamin siapa yang dihukum dan apa hukumannya,” jelas Prastowo kepada hukumonline.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, beberapa Peraturan Bank Indonesia (PBI) juga mengatur tentang kerahasiaan bank. Salah satunya adalah PBI Nomor 2/9/PBI/ 2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Yang menarik diatur dalam PBI ini, Pasal 2 ayat (4) pengecualian atas kewajiban merahasiakan dana nasabah adalah salah satunya untuk kepentingan perpajakan.  

Berikutnya, Pasal 3 ayat (1) mengatur teknis pelaksanaan pengecualian kerahasiaan bank untuk kepentingan perpajakan. Yakni, diwajibkan terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis untuk membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank Indonesia.

Pasal 4 ayat (1) menyebutkan “untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonsia berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaaan keuangan Nasabah Penyimpang tertentu kepada pejabat pajak”. Lalu, Ayat (2) menyatakan “Perintah tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan berdasarkan permintaan tertulis dari Menteri keuangan”.

RUU Perbankan
Peluang bagi DJP untuk mendorong gagasan akses data nasabah itu lebih terbuka. Sebab, pada saat yang sama, DPR dan Pemerintah sedang membahas revisi kedua UU Perbankan. Dalam Daftar Prolegnas 2014, rencana revisi itu masuk nomor urut 49 dari 66 RUU.

Meskipun berada pada nomor urut yang jauh, sinyal positif sudah datang dari sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Wakil Ketua Komisi XI, Harry Azhar Azis, menjelaskan usulan DJP sudah dimasukkan ke dalam revisi. Akses DJP kelak meliputi antara lain aspek pemeriksaan dan penagihan. “Kami sudah masukkan klausul itu ke revisi UU Perbankan,” kata politisi Partai Golkar ini.

Salah satu yang menjadi perhatian anggota Dewan adalah pertanggungjawaban atas data nasabah yang dibuka, misalnya jika terjadi kebocoran. Kebocoran sangat mungkin terjadi jika kasus pajak disidangkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Tetapi jika hanya di internal DJP, kebocoran tidak boleh terjadi. “Dirjen Pajak tetap harus bertanggung jawab,” tegas Harry.

Prastowo dan Harry menambahkan jika gagasan DJP diterima, perubahan tak hanya dilakukan pada UU Perbankan, tetapi juga peraturan perundang-undangan pajak. Di UU perpajakan hanya disebut kewenangan mengakses data nasabah untuk kepentingan penyidikan. Kini, kata Harry, bakal ditambah hingga pemeriksaan dan penagihan.

Kini, tinggal menunggu bagaimana DPR dan pemerintah merumuskan klausula-klausula yang memungkinkan DJP mengakses data WP yang tersimpan di bank. Dan jika kelak rumusannya sudah jelas tak menjamin nihil keberatan dari WP atau kalangan perbankan sendiri. Namanya juga mendobrak sesuatu yang sudah puluhan tahun bersifat rahasia.
Tags:

Berita Terkait