Bawaslu Butuh Mitra Pengawas Pemilu Lapangan
Berita

Bawaslu Butuh Mitra Pengawas Pemilu Lapangan

Payung hukumnya belum jelas.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Bawaslu Butuh Mitra Pengawas Pemilu Lapangan
Hukumonline
Badan penyelenggara Pemilu masih mempersiapkan banyak hal yang dibutuhkan untuk menggelar hajatan politik nasional 9 April mendatang. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), misalnya, sibuk menyiapkan perangkat pengawasan. Menurut Ketua Bawaslu, Muhammad, secara umum Bawaslu siap mengawasi penyelenggaraan Pemilu 2014. Cuma, keberhasilan pengawasan juga tergantung pada komitmen lembaga lain.

Salah satu yang dibutuhkan Bawaslu adalah keberadaan pengawas di lapangan. Misalnya, mengacu UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, untuk mengawal berjalannya Pemilu di sebuah desa, paling banyak diawasi lima orang pengawas. Padahal, dalam satu desa terdapat ratusan TPS yang harus diawasi. Mengacu kondisi itu Muhammad khawatir pengawasan yang dilakukan di tingkat TPS berpotensi tidak berjalan maksimal.

Muhammad menyebut Komisi II DPR mengakui pengaturan pengawasan di tingkat TPS luput dari UU Penyelenggaraan Pemilu. Karena itu, harus dicari solusi. Bawaslu mengusulkan agar dibentuk mitra PPL. “Kami mendorong itu untuk memastikan setiap TPS ada pengawas pemilu,” katanya dalam diskusi di Media Center KPU Jakarta, Selasa (18/2).

Menurut Muhammad pengawasan diperlukan bukan hanya ketika proses di TPS berlangsung. Tapi juga sampai rekapitulasi penghitungan suara. Sayangnya, pemerintah belum memberi lampu hijau kepada Bawaslu untuk membentuk mitra PPL. Padahal, maksud tersebut sudah disampaikan kepada Kemendagri. Namun pihak pemerintah berdalih belum menemukan payung hukum yang tepat guna membentuk mitra PPL. Pemerintah seharusnya dapat mencari solusi agar mitra PPL dapat dibentuk, semisal menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres). “Pemerintah beralasan tidak punya dasar hukum,” tukasnya.

Muhammad khawatir penyelenggaraan Pemilu 2014 terganggu jika mitra PPL tak dibentuk. Sebab, akan banyak TPS yang tidak diawasi. Ujungnya, pengawasan Pemilu tidak berjalan optimal.

Untuk saksi yang mewakili partai politik (parpol) peserta pemilu di TPS, Muhammad mengatakan hal itu dibutuhkan dalam rangka pengawasan. Oleh karenanya sinergisitas antara pengawas Pemilu dan parpol wajib dilakukan. Sehingga parpol dapat meyakini bahwa proses di TPS berjalan aman karena potensi kecurangan dapat diminimalisir. “Jadi kalo saksi parpol ada, itu membantu pengawasan Pemilu,” ujarnya.

Sekalipun tidak ada saksi parpol dan mitra PPL, Muhammad, menekankan Bawaslu tetap berupaya memaksimalkan fungsinya melakukan pengawasan. Tapi ia merasa pengawasan itu juga perlu didukung peserta Pemilu. Sehingga pengawasan dapat dilakukan secara bersama. Dari catatan Bawaslu Muhammad menyebut proses rekapitulasi penghitungan suara yang rawan berada di tingkat kecamatan dan desa (kelurahan).

Sementara, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi, penyelenggaraan Pemilu secara legal formal harus diutamakan. Oleh karenanya pembentukan mitra PPL perlu didorong karena setiap TPS bakal rawan manipulasi kalau tidak ada pengawasan. Mengingat pemerintah berkelit tidak ada payung hukum untuk membentuk mitra PPL, Yoga mengimbau Bawaslu dan parpol untuk bersikap. Ia merasa parpol bakal mendukung Bawaslu soal mitra PPL. “Yang penting mitra PPL harus independen, tidak berpihak ke parpol manapun, berkualitas dan berintegritas,” tegasnya.

Sebagaimana Muhammad, Yoga melihat TPS sangat penting untuk diawasi. Soal saksi parpol dalam rangka mengawal jalannya Pemilu, Yoga mengatakan partainya telah menyiapkan saksi untuk TPS di berbagai daerah tanpa dibiayai pemerintah. Ia lebih yakin terhadap saksi yang berasal dari parpol ketimbang pihak lain. Sebab, saksi dari parpol punya komitmen yang cenderung tinggi dan tidak ingkar janji. “PAN mendukung (pembentukan,-red) mitra PPL,” ucapnya.

Terpisah, Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Girindra Sandino, menyebut mitra PPL yang diusulkan Bawaslu adalah penting untuk mencegah kecurangan Pemilu di TPS. Cuma usulan itu kurang pas karena bersamaan dengan ‘heboh’ dana saksi parpol yang dikritik banyak kalangan. Karena itu, Girindra kurang yakin usulan mitra PPL disambut pemerintah.  Kecuali ada dukungan kuat secara yuridis dan politis terhadap realisasi dana saksi parpol. “Pemerintah 'menggantung' usulan Bawaslu tentang mitra PPL tersebut karena sikap parpol tidak jelas terhadap dana saksi parpol, juga karena tidak mau ambil resiko,” urainya.

Girindra menilai usulan Bawaslu atas mitra PPL sangat realistis. Sebab, rekapitulasi penghitungan suara pada Pemilu 2014 akan dilakukan di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS). Berbeda dengan Pemilu 1999 yang rekapitulasi penghitungan suaranya dianggap rawan kecurangan karena dilakukan di tingkat desa atau kelurahan. Sedangkan pada Pemilu 2009 penghitungan suara di tingkat desa dihilangkan. Pasalnya, saat itu PPS dipahami ada pada entitas politik desa dan kelurahan yang rawan intervensi politik.

Walau rekapitulasi suara pada Pemilu 2014 akan sama seperti Pemilu 2009 yaitu penghitungan suara di PPS, tapi tetap memiliki potensi kerawanan yang harus diperhatikan semua pihak. Baik itu penyelenggara dan peserta Pemilu serta masyarakat. Sebab, tidak ada yang dapat menjamin penghitungan suara di PPS bebas dari kecurangan. Apalagi tidak ada upaya signifikan KPU untuk memperkuat secara kelembagaan, kompetensi dan integritas penyelenggara Pemilu di tingkat PPS.

Dari catatan KIPP, selama Pemilu masa Orde Baru, 1999 dan 2004 diduga  ada mobilisasi kekuatan politik di tingkat desa atau kelurahan. Girindra merasa keberadaan mitra PPL sangat penting. Tapi mengingat waktu yang singkat menjelang penyelenggaraan Pemilu 2014, mitra PPL yang direkrut harus terlatih dan berpengalaman. Ia berharap pemerintah bersikap tegas terhadap pembentukan mitra PPL. “Bagi saya mitra PPL penting, tapi tidak untuk dana saksi parpol,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait