Putusan MK Soal PK Terus Menuai Pro dan Kontra
Berita

Putusan MK Soal PK Terus Menuai Pro dan Kontra

Ada yang menilai sebagai pencitraan akibat lembaga konstitusi yang terpuruk. Ada juga yang menilai janggal jika PK harus dibatasi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Diskusi Tematik RUU KUHAP dengan tema
Diskusi Tematik RUU KUHAP dengan tema "Upaya Hukum Peninjauan Kembali",di Jakarta, Rabu (19/3). Foto: RES
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pengajuan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali merupakan upaya pembusukan terhadap hukum acara pidana. Padahal, dalam pertimbangan putusan semestinya terdapat kepastian hukum. Oleh sebab itu, pengajuan PK tetap harus dibatasi demi kepastian hukum.

Hal itu dikatakan Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko, dalam sebuah diskusi bertajuk, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali”  di Gedung LBH Jakarta, Rabu (12/3). “Terhadap semua putusan pengadilan berupa pemidanaan, maka terdakwa dan ahli warisnya dapat mengajukan PK sebagai upaya hukum luar biasa seharusnya tetap dibatasi,” ujarnya.

Djoko berpandangan, putusan hakim harus adil dan mengandung tiga unsur yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan secara proporsional. Namun dalam praktiknya, ketiga nilai tersebut acapkali berbenturan antara satu dengan yang lain, terutama antara keadilan dan kepastian hukum.

Menurutnya, pada situasi tersebut hakim mesti mempertimbangkan  posisi dalam memilih antara keadilan dan kepastian hukum. “Apakah keadilan substansial atau keadilan prosedural. Salah satu nilai perlu pelenturan untuk mencapai tuntutan keadilan yang lebih tinggi,” ujarnya.

Dikatakan Djoko,  putusan MK yang lebih dahulu (tiga tahun lalu, red)  menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP dinilai konstitusional. Belakangan, putusan MK kedua pada 2014 menyatakan Pasal 268 ayat (3) inkonstitusional. Menurutnya, boleh jadi putusan tersebut bersifat situasional. Namun, ia menduga putusan tersebut dalam rangka memperbaiki wajah MK yang sudah tercoreng akibat kasus yang mendera Akil Mochtar –mantan Ketua MK-.

Lebih lanjut, Djoko berpendapat jika PK tidak dibatasi bisa menyebabkan dashyatnya pengajuan PK oleh terpidana kasus kejahatan extraordinary crime seperti korupsi, terorisme, narkotika. Soalnya, pengajuan PK dapat dilakukan berulang kali hingga mendapat pembebasan dari penjara setelah PK tersebut dikabulkan.

“Putusan MK tersebut melemahkan semua aparat penegak hukum yang bekerja keras, khususnya dalam mencegah pemberantasan tindak pidana serius. Seperti KPK, BNPT, BNN, Polri dan Kejagung,” katanya.

Djoko optimis Mahkamah Agung akan tetap eksis dalam menghadapi gelombang ‘banjirnya’ PK yang diajukan oleh terpidana maupun ahli warisnya. Menurutnya, lembaga yang pernah menjadi tempatnya bekerja itu tidak akan terpengaruh dan tak akan goyah meskipun putusan MK memiliki andil melemahkan kinerja MA.

“Saya secara pribadi mengusulkan agar permohonan PK terpidana atau ahli warisnya tetap dibatasi,” ujarnya.

Kepala Divisi Kajian Hukum Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, tak sependapat dengan Djoko. Menurutnya, hukum Indonesia masih merujuk pada hukum acara Belanda. Dikatakan Arsil, ia telah melakukan riset terhadap hukum acara Belanda. Faktanya, Belanda tidak membatasi pengajuan PK.

“KUHAP Belanda tidak membatasi PK cuma sekali,” ujarnya.

Arsil berpendapat,  penyebab terpidana mengajukan PK antara lain masih tingginya inkonsistensi di lembaga MA. Menurutnya, inkonsistensi akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Malah, justru mendorong terpidana coba-coba mengajukan PK dan berharap diputus hakim agung yang pandangan hukumnya menguntungkan terpidana tersebut.

Arsil tak menampik pengajuan PK lebih dari sekali akan memiliki dampak dengan bertambahnya perkara. Namun, penambahan perkara tidak sebesar yang diperkirakan. Berdasarkan hasil risetnya, pengajuan PK pertahunnya berkisar 300-450 perkara atau sekitar 3 persen.

“Kita mengakui bahwa perkara harus diakhiri pada suatu titik. Tetapi, pengadilan juga bisa salah. Intinya tidak boleh ada orang yang tidak bersalah dihukum. Jadi sangatlah janggal kalau PK kita batasi,” katanya.

Ketua Divisi Riset Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Anugerah Rizki Akbari, mengamini pandangan Arsil. Menurutnya, PK bagi terpidana dan ahli waris tak dibatasi pengajuannya. Sayangnya, dalam RKUHAP tidak banyak mengubah pasal PK dalam KUHAP yang masih digunakan saat ini.

“Pengaturan upaya hukum dalam RKUHAP tidak ada perubahan secara mendasar dari apa yang diatur KUHAP saat ini,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait