MA Disarankan Susun Perma Soal PK
Utama

MA Disarankan Susun Perma Soal PK

MA harus memperbaiki kualitas para hakim agar mampu membuat putusan yang berkualitas.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun berpendapat putusan MK tentang Peninjauan Kembali (PK) yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP hanya membatalkan ketentuan yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali. Tujuannya, memberi keadilan ketika ditemukan keadaan baru (novum) setelah permohonan PK sebelumnya diputuskan.

“Jangan lalu (putusan MK itu) diartikan PK boleh diajukan berkali-kali tanpa batas,” kata Gayus di  Jakarta, Senin (10/3).

Gayus menegaskan, sesuai kewenangannya MK tidak bisa membuat norma baru untuk mengisi kekosongan norma pasal tersebut. Putusan MK juga tidak berarti pengajuan PK boleh diajukan berkali kali tanpa batas, sehingga tidak memberikan kepastian hukum seperti dibayangkan banyak pihak yang kurang memahami hukum dan peraturan perundang-undangan.

“Kekhawatiran yang berlebihan itu, justru akan dimanfaatkan terpidana narkoba, terpidana mati, atau terpidana lainnya untuk mengulur-ulur waktu saja,” ujarnya.

Karenanya, dia meminta pemerintah dan DPR segera menyikapi putusan MK itu guna mengisi kekosongan norma Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Misalnya, memasukkan materi itu dalam revisi KUHAP yang tengah dibahas. Sebab, banyak pihak yang menyangsikan putusan judicial review yang dimohonkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar itu dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum karena PK dapat dilakukan berkali-kali. “Untuk menentukan berapa kali boleh diajukan PK merupakan kewenangan pembentuk UU dan MA,” lanjutnya.

Dalam jangka pendek, MA pun perlu mengeluarkan Peraturan MA (Perma) untuk mengatasi kekhawatiran banyak pihak lantaran pandangan permohonan PK bisa diajukan berkali-kali. Perma itu  untuk mengatur hal-hal yang diperlukan (sebagai kekosongan hukum) demi kelancaran penyelenggaraan peradilan sesuai Pasal 79 UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA.

Misalnya, dengan mengatur pengajuan PK kepada pihak yang berkepentinngan (kejaksaan mewakili negara) dan terpidana atau ahli warisnya masing-masing sebanyak dua kali sebagai bentuk pembatasan yang bersifat partikulatif. Atau pembatasan yang penting dan wajar. “Pengaturan tersebut bertujuan agar tidak mudah orang mengajukan PK, kecuali apabila alasan PK betul-betul cukup kuat,” tegasnya.

Sebelumnya, MK mengabulkan uji materi Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan Antasari Azhar itu, Kamis (6/3) kemarin. Putusan MK itu menimbulkan pro dan kontra terutama dari kalangan internal MA. Sebab, pembatalan ketentuan PK hanya satu kali dapat berimplikasi permohonan PK dapat diajukan berkali-kali, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Perlu aturan teknis
Terpisah, Dosen Pidana UII Yogyakarta, Mudzakir mengamini pandangan Gayus yang menyebutkan MA perlu menerbitkan ketentuan setingkat Perma untuk mengatur prosedur dan syarat pengajuan PK yang dimohonkan lebih dari sekali. Dirinya setuju dengan putusan MK yang membatalkan ketentuan PK hanya sekali demi rasa keadilan.

“Harus ada aturan teknis, MA bisa menerbitkan Perma terkait prosedur dan syarat pengajuan PK. Kalau aturan itu sudah ada, perlu direvisi yang intinya jangan sekali-kali bermaksud mengubah putusan MK, tetapi menseleksi agar pengajuan PK digunakan untuk mencari keadilan,” kata Mudzakir saat dihubungi. “Ini kan masalah teknis, cukup diatur Perma. Jadi, kalau ini masuk UU nanti dikhawatirkan menjadi masalah.”

Dia mengatakan prosedur pengajuan PK dengan format tersendiri perlu diatur agar kontrol administrasi jelas. Kalau ada syarat-syarat pengajuan PK dan formatnya sudah terpenuhi, PK boleh diperiksa oleh majelis. “Jadi tidak semua pengajuan PK dapat diperiksa, kalau setiap PK diperiksa orang bisa main-main ajukan PK,” katanya.

Menurut dia MA tidak perlu berkeluh kesah lantaran pengajuan PK dibolehkan lebih dari sekali. Yang terpenting, MA harus memperbaiki kualitas para hakim agar mampu membuat putusan yang berkualitas, sehingga menutup celah atau mencegah orang mengajukan banding, kasasi, atau PK.

“Intinya peningkatan kualitas hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi perlu diperhatikan, untuk mencegah banyaknya perkara PK yang masuk ke MA. Jadi bukan hanya soal pembatasan pengajuan PK,” tutupnya.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur mengaku belum ada rencana MA untuk membuat Perma mengenai syarat pengajuan PK. Hingga kini, berkas permohonan PK masih diterima pengadilan negeri sebagai pintu masuk pendaftaran PK. Lalu, dikirim dan diperiksan hakim untuk dikabulkan atau ditolak.
Tags:

Berita Terkait