Industri Keuangan Bisa Minta Penyesuaian Besaran Pungutan OJK
Utama

Industri Keuangan Bisa Minta Penyesuaian Besaran Pungutan OJK

Penyesuaian besaran pungutan tersebut bertujuan untuk mengurangi semakin memburuknya kondisi keuangan industri.

FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit
Kantor OJK. Foto: RES
Kantor OJK. Foto: RES
Beberapa waktu lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK No.3/POJK.02/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK. Dalam POJK tersebut, terdapat penyesuaian besaran pungutan dengan cara melalui permohonan oleh pelaku jasa keuangan atau hasil analisis oleh OJK. Penyesuaian besaran pungutan tersebut bertujuan untuk mengurangi semakin memburuknya kondisi keuangan industri.

Deputi Komisioner Manajemen Strategis IIB OJK, Harti Hariyani, mengatakan penyesuaian besaran pungutan berlaku kepada seluruh pelaku jasa keuangan. Bagi institusi yang sedang mengalami kesulitan dan dalam upaya penyehatan atau pemberesan, OJK dapat menyesuaikan tarif sampai dengan nol persen.

Penyesuaian tarif juga diberikan kepada sebagian atau seluruh industri jasa keuangan yang tidak mampu mempertahankan kesehatan atau kesulitan keuangan. Untuk kategori ini, OJK juga dapat menyesuaikan tarif sampai dengan nol persen. Selain itu, OJK juga memprioritaskan pengembangan industri, layanan, produk atau daerah tertentu, otoritas dapat menyesuaikan tarif sampai dengan 25 persen.

“Ada pasal-pasal keringanan (pungutan, red) untuk semua industri,” tulis Harti melalui pesan singkatnya kepada hukumonline, Kamis (10/4).

Pasal 16 POJK tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK menyatakan, penyesuaian besaran pungutan dilakukan berdasarkan pengajuan permohonan penyesuaian kewajiban pembayaran pungutan secara tertulis kepada OJK. Permohonan tersebut harus diterima OJK paling lambat 60 hari sebelum batas akhir pembayaran pungutan.

Dalam pengajuan permohonan tersebut, harus terdapat sejumlah kriteria yang dipenuhi oleh Wajib Bayar. Pertama, terpenuhinya kriteria kesulitan keuangan seperti yang ditetapkan OJK pada lampiran POJK tersebut. Misalnya kriteria kesulitan keuangan bagi bank umum, bank perkreditan rakyat dan bank perkreditan rakyat syariah.

Bagi perbankan, kriteria kesulitan keuangannya adalah bank dalam pengawasan khusus, bank dalam likuidasi, bank yang apabila dikenakan pungutan akan mengakibatkan capital adquacy ratio (CAR) atau rasio modal inti dan rasio giro wajib minimum (GWM) di bawah ketentuan serta berdasarkan analisis OJK, bank mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya penyehatan.

Kriteria kedua, terdapatnya kemampuan keuangan Wajib Bayar yang mengajukan permohonan. Kriteria ketiga, terdapatnya program kerja dalam rangka perbaikan kondisi perusahaan jika OJK menetapkan pungutan lbih kecil dari besaran pungutan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK.

Selain melalui pengajuan permohonan, penentuan Wajib Bayar memenuhi kondisi untuk memperoleh penyesuaian pungutan bisa berdasarkan analisis yang dilakukan OJK. Cara ini dapat dilakukan tanpa melalui pengajuan permohonan terdahulu. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa analisis yang dilakukan OJK didasarkan pada kondisi yang terjadi pada Wajib Bayar, sehingga bisa ditetapkan sedang mengalami kesulitan keuangan atau sedang dalam upaya penyehatan.

Misalnya, OJK tidak dapat melakukan korespondensi terhadap Wajib Bayar tersebut selama tiga tahun terakhir, termasuk tidak dilaksanakannya sanksi administratif yang ditetapkan OJK. Tidak terdapat direksi, dewan komisaris dan pemegang saham utama yang dapat dihubungi selama tiga tahun terakhir dan tidak menyampaikan laporan berkala kepada OJK selama tiga tahun berturut-turut.

Analisis oleh OJK tersebut juga dapat didukung dengan informasi dari pihak eksternal. Misalnya, dari instansi yang berwenang menangani penagihan atas pungutan yang telah dikategorikan macet.

Keberatan
Sebelumnya, Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) telah menyurati pimpinan OJK terkait penerapan pungutan tersebut. Dalam suratnya, HKHPM keberatan dengan pungutan tahunan sebesar Rp5 juta untuk tiap konsultan hukum pasar modal. Menurut HKHPM, tidak semua konsultan hukum pasar modal memiliki keahlian di bidang corporate action yang berkaitan dengan transaksi oleh emiten atau perusahaan publik.

“Sebagian anggota HKHPM adalah litigator, sehingga dalam setahun tidak dapat dipastikan akan menerima pekerjaan dari klien-klien yang berasal dari pasar modal,” demikian isi surat HKHPM tertanggal 3 Maret 2014 tersebut.

Belum lagi, untuk mendukung kegiatan organisasi HKHPM, tiap anggota diwajibkan membayar iuran sebear Rp600 ribu pertahunnya. Namun dalam kenyataannya, hanya sekitar 50 persen anggota HKHPM yang mematuhi kewajiban tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak seluruh anggota HKHPM memiliki kemampuan untuk membayar iuran yang relatif tidak memberatkan sejak tahun 2004 tersebut.

Masih dalam suratnya, HKHPM juga menyebutkan bahwa menjadi konsultan hukum pasar modal memiliki kewajiban lain yang harus dilakukan. Misalnya kewajiban untuk mengikuti Pendidikan Profesi Lanjutan (PPL) sebanyak lima Satuan Kredit Profesi (SKP) setiap tahun. Setidaknya, tiap anggota HKHPM mengeluarkan uang Rp1,25 juta untuk satu kali diskusi panel atau seminar dengan bobot 2,5 SKP.

Terkait pungutan 1,2 persen dari nilai kontrak kegiatan di sektor jasa keuangan bagi kantor konsultan hukum, HKHPM menilai hal tersebut tak sejalan dengan kedudukan kantor konsultan hukum yang bukan pihak terdaftar di OJK. Pendaftaran di OJK melekat pada individual dari advokat atau konsultan hukum. Atas dasar itu, HKHPM menilai pungutan 1,2 persen terhadap kantor konsultan hukum tersebut tidak dapat dilakukan.

Keberatan ini termasuk dalam POJK tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK yang baru diterbitkan oleh otoritas. Hal itu dikarenakan POJK tersebut merupakan penjabaran dari PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK yang sejumlah klausulnya memberatkan HKHPM.

Meski begitu, HKHPM setuju dengan pungutan bagi tiap konsultan hukum untuk pertama kali melakukan pendaftaran sebesar Rp5 juta. Persetujuan ini diberikan mengingat pungutan untuk pendaftaran berhubungan langsung dengan kegiatan pemeriksaan oleh OJK terkait dokumen-dokumen pendaftaran yang disampaikan.
Tags:

Berita Terkait