Ada Kendala dalam Pemungutan Suara Ulang
Berita

Ada Kendala dalam Pemungutan Suara Ulang

Ditemukan di Sampang. Tidak ada petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ada Kendala dalam Pemungutan Suara Ulang
Hukumonline
Komisi Pemilihan Umum (KPU) kesulitan menggelar pemungutan suara ulang (PSU) Pemilu legislatif di Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Menurut komisioner KPU, Arief Budiman, secara umum di kabupaten Sampang masih dilakukan penghitungan atau rekapitulasi suara. Namun, masih ada kendala di 19 TPS yaitu 17 TPS di kecamatan Ketapang dan 2 TPS di Kecamatan Robatal. Walau sudah menginstruksikan dilakukan PSU untuk 19 TPS itu tapi sampai saat ini belum dapat terselenggara. Sebab, petugas KPPS di kabupaten Sampang mengundurkan diri.

“Kami sudah membuka pendaftaran untuk rekrutmen KPPS, tapi belum ada yang bersedia untuk menjadi KPPS menggantikan KPPS lama,” kata Arief kepada wartawan di gedung KPU Jakarta, Selasa (22/4).

KPU sudah meminta kepada panitia pengawas (panwas), KPU tingkat kabupaten dan provinsi untuk segera memberikan laporan lengkap. Dengan laporan itu maka KPU dapat menerbitkan keputusan untuk menyikapi batalnya PSU di 19 TPS tersebut. Pelaksanaan PSU itu paling lambat 23 April 2014 agar hasilnya dapat diikutsertakan dalam rekapitulasi suara di tingkat provinsi. Sebab rekapitulasi di tingkat provinsi dijadwalkan akan dimulai pada tanggal tersebut.

Arief mengatakan ada kesulitan merekrut KPPS di Sampang, antara lain karena warga takut diangkat menjadi KPPS. Bahkan ada masyarakat yang berpandangan proses pemungutan suara Pemilu legislatif sudah selesai. Padahal, PSU itu perlu dilakukan karena proses pemungutan suara yang dilaksanakan pada 9 April lalu tidak sesuai dengan peraturan.

Misalnya, Arief melanjutkan, TPS dibuka siang hari dari pukul 10.00-11.00 WIB. Padahal ketentuan yang ada mengamanatkan TPS dibuka sejak pukul 07.00-13.000 WIB. Alasan TPS itu dibuka siang hari karena sebagian besar masyarakat di pesisir berprofesi sebagai nelayan, begitu juga dengan petugas KPPS. Kondisi itu rata-rata terjadi di 17 TPS di kecamatan Ketapang.

Untuk 2 TPS di kecamatan Robatal Arief mengatakan berdasarkan laporan panitia pengawas (panwas), TPS itu didirikan tidak mengacu ketentuan dalam peraturan KPU. Awalnya panwas menduga TPS itu fiktif atau tidak pernah didirikan. Tapi setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tingkat provinsi melakukan klarifikasi ternyata TPS itu berdiri namun diduga terjadi manipulasi. Misalnya, partisipasi pemilih di TPS itu 100 persen begitu pula surat suara sah.

KPU sudah mendistribusikan logistik yang dibutuhkan. Tapi logistik itu hanya bisa dikirim sampai tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan tidak dapat dikirim ke tingkat KPPS. Pasalnya, petugas KPPS tidak ada. Kondisi itu menyebabkan PSU di 19 TPS di Kabupaten Sampang tertunda. “Tidak ada yang mau menerima, jadinya logistik masih ada di truk pengiriman (di PPS),” urainya.

Wasekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Girindra Sandino, berpendapat perlu dicermati mengapa petugas KPPS Sampang mengundurkan diri. Dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu ada ketentuan yang mengatur pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), PPS dan KPPS pada Pemilu legislatif 2014 adalah tugas KPU tingkat Kabupaten/Kota. Oleh karenanya KPU Kabupaten Sampang harus bertanggungjawab terhadap rekrutmen petugas penyelenggara Pemilu itu.

“Bila tidak dapat diatasi KPU Provinsi bisa mengambil alih untuk segera membentuk KPPS di 19 TPS tersebut,” papar Girindra.

Atas dasar itu KIPP Indonesia mengusulkan ke depan pola rekrutmen KPPS harus dikoreksi total. Bukan hanya sekedar anggaran tapi membekali para petugas dengan pemahaman tentang regulasi Pemilu dan pendidikan politik. Sehingga KPPS dapat berfungsi sebagai ujung tombak penyelenggaraan Pemilu di lapangan dan bukan sekedar “pekerja temporer.” Serta punya cara pandang untuk mengawal demokrasi dan menjaga suara rakyat.

Girindra melihat selama ini pola rekrutmen anggota KPPS berdasarkan kedekatan individu, sehingga mereka saling kenal.. Akibatnya ketika berbuat hal yang positif atau negatif mereka cenderung melakukannya secara bersama. “Mungkin lebih baik ke depan selain dilakukan pendidikan politik, anggota KPPS di desa tertentu ditukar dengan KPPS desa lain. Atau minimal terjadi pertukaran anggota KPPS di tingkat RW dan dilakukan secara acak,” usulnya.

Girindra menyimpulkan tertundanya PSU di sebuah daerah tidak bisa dibebankan hanya kepada KPPS saja. Tapi berkaitan pula dengan pengadaan logistik Pemilu yang menjadi tanggungjawab KPU RI. Serta jajaran Bawaslu dari tingkat pusat sampai daerah karena tidak maksimal melakukan pengawasan. Ujungnya hak politik warga negara untuk memilih dan dipilih dirugikan karena sistem tidak berjalan baik.
Tags:

Berita Terkait