Soal Terusir dari Tanah Sendiri
Reformasi Hukum

Soal Terusir dari Tanah Sendiri

Reformasi Hukum dan HAM (Refhuk) adalah program yang mengetengahkan problematika hukum dengan narasumber kompeten. Hadir setiap Senin pukul 09.00-10.00 WIB. Program ini disiarkan oleh 156 radio jaringan KBR di seluruh Indonesia.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: KBR
Foto: KBR
Belasan tahun sudah lamanya sengketa lahan antara petani di Desa Darmakradenan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dengan PT Rumpun Sari Antan (RSA) 4. Yang menjadi masalah utamanya adalah soal Hak Guna Usaha (HGU) PT. Rumpun Sari Antan (RSA) 4 di Desa Darmakradenan Ajibarang, Banyumas di atas lahan seluas seratusan hektare tersebut.

Seratusan petani yang juga mejadi warga desa tersebut mengaku geram. Pasalnya Petani Desa Darmakradenan sudah 14 tahun tidak memiliki lahan garapan dan lahan untuk tinggal dikampung halamannya tersebut. Ketua Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (Stan Ampera), Katur Setiabudi mengatakan, petani di desa Darmakradenan hanya menggantungkan diri pada pertanian pada lahan mangkrak.

“Kita sudah menemui Badan Pertanahan Nasional (BPN) ke Jakarta untuk menjalani proses secara prosedural mengambil alih lahan tersebut,” ujarnya.

Katur mengatakan, dengan rata-rata pendidikan petani yang minim, pihaknya berusaha mengikuti prosedur jalur hukum hanya untuk mencoba menggugah hati nurani pemerintah agar memberikan lahan tersebut kepada petani. “Tahun 2002 kita ajukan ke pengadilan, sampai menjalani beberapa sidang namun tidak dimenangkan. Luas tanah yang disengkatakan 110 hektar,” ujarnya. Namun hingga saat ini cita-cita ratusan petani tersebut masih belum terealisasi juga, meski kata dia, penggunaan lahan masih bisa dilakukan leh para petani.

Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara (Kasie SKP) BPN Kab.Banyumas, Suedi mengatakan, secara legal formal, lahan tersebut memang milik PT. RSA 4 untuk hak guna usahanya. “Pengadilan juga sudah memenangkan PT Rumpun Sari Antang soal sengketa kepemilikan lahan tersebut, namun warga tidak terima,” ujarnya.

Menurut Suedi, pihaknya juga sudah mengupayakan agar tidak ada pihak dirugikan dalam hal ini, hanya saja warga masih bersikeras untuk memiliki keseluruhan lahan tersebut dan meminta mencabut HGU PT. RSA 4 tersebut. “Pertemuan antara warga, pemerintah dan LSM pernah dilakukan. Hasilnya, swasta dan petani harus berbagi lahan, tetapi petani memaksa untuk memiliki keseluruhan lahan,” ujarnya.

Menurut dia, hal tersebut sulit direalisasikan mengingat setidaknya kontrak HGU PT. RSA 4 baru akan berakhir pada tahun 2018 nanti. “Data dan dokumen kita lengkap dan sah sejak zaman belanda dulu soal siapa saja pemilik lahan ini sejak dulu,” ujarnya. Pihaknya hanya berusaha melaksanakan apa yang sudah diputuskan oleh proses hukum.

Menanggapi hal tersebut, Katur Setiabudi mengatakan pihaknya memahami bahwa secara legal formal memang pemanfaatan lahan tersebut adalah milik PT. RSA 4. Hanya saja kata dia, ada aturan juga yang mengharuskan adanya pelibatan warga sekitar dalam pemanfaatannya, supaya kesejahteraan warga juga bisa terangkat dengan ada perusahaan tersebut.

“Menurut undang-undang dan perturan yang ada, dengan adanya perusahaan dilahan itu seharusnya bisa mensejahterakan rakyat ketika dikelola perusahaan, tapi faktanya tidak hingga saat ini,” ujarnya.

Ditambahkan Katur, pengerahan aparat yang seharusnya mengamankan dan melindungi warga malah terjadi justru sebaliknya. Aparat, terutama TNI justru malah menyerang balik warga dengan intimidasi-intimidasi. “TNI berlaku kejam saat menindak rakyat desa keluar dari lahan, Pemerintah sekarang tak ubahnya penjajah belanda dulu yang tak dukung rakyat kecil,” ujarnya.

Dosen Pertanian Unsoed, Suprayogi berpendapat seharusnya pemerintah pusat bisa ikut turun ke daerah untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut. Meski dia memahami kalau terkait hal tersebut ada kebijakan otonomi daerah. Namun bukan berarti pemerintah pusat jadi terkesan lepas tangan soal sengketa ini mengingat prosesnya yang sudah sangat lama.

“Harusnya petani sabar menunggu HGU perusahaan habis tahun 2018 nanti, disamping itu pemerintah juga harus beri solusi alternatif,” ujarnya. Alternatif yang dia maksud adalah, baik pemerintah pusat dan daerah harus bisa menjamin kesejahteraan dan mata pencaharian warga tidak terganggu setidaknya hingga HGU PT. RSA 4 tersebut berakhir.

Suprayogi mengaakan, nantinya, ketika kontrak HGU berakhir, pemerintah harus membuat kebijakan baru dalam kontrak tersebut agar kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan dan supaya kedua bisa berjalan secara selaras. “Semoga RUU Agraria yang sekarang masih dibahas oleh DPR menghasilkan Undang-undang yang jelas-jelas memiliki keberpihakan kepada petani miskin didaerah-daerah yang menggantungkan hidupnya dari lahan milik pemerintah,” ujarnya.

Dia menambahkan, maraknya konflik antara warga dengan pemerintah dan swasta terkait soal lahan di Indonesia diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah tersebut. Pemerintah seharusnya bisa mengantisipasi masalah tersebut agar tidak terjadi, bukan baru bertindak ketika konflik dan bentrok sudah terjadi, bahkan sudah memakan korban jiwa.

Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Reformasi Hukum dan HAM KBR. Simak siarannya setiap Senin, pukul 09.00-10.00WIB di 89,2 FM Green Radio.

Sumber: www.portalkbr.com
Tags: