Belajar Right of Fair Trial dari Negara Eropa
Utama

Belajar Right of Fair Trial dari Negara Eropa

Komnas HAM berharap kuliah umum ini bisa membuka wawasan mengenai hak asasi manusia.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Dekan Leiden School of Law, Belanda, Prof. Rick Lawson. Foto: RES
Dekan Leiden School of Law, Belanda, Prof. Rick Lawson. Foto: RES
Dekan Leiden School of Law, Belanda, Prof. Rick Lawson memaparkan sejumlah kasus-kasus hak asasi manusia (HAM) yang bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia, dan ASEAN pada umumnya. Salah satu yang diangkat adalah tema “Right of Fair Trial”, hak terhadap peradilan yang adil. 

“Saya akan berbicara mengenai kasus Yusuf Salduz,” ujarnya ketika menyampaikan kuliah umum di Erasmus Huis, Jakarta, Rabu (5/6).

Lawson memaparkan bahwa Salduz merupakan pemuda berusia 17 tahun berkebangsaan Turki. Dia ditangkap oleh polisi Turki dengan tuduhan melakukan demonstrasi secara ilegal mendukung Partai Pekerja Kurdistan (organisasi ilegal di Turki).

Salduz mengakui semua tuduhan yang diajukan oleh unit anti teroris Turki. “Dia mengaku karena dia diinterogasi seorang diri pada pukul 00.30 tengah malam. Tanpa didampingi oleh pengacara,” beber Lawson.

Pada Juni 2001, Salduz dibawa ke pengadilan. Namun, di persidangan, Salduz menolak seluruh isi Berita Acara Pemeriksaan terhadap dirinya. Ia mengaku takut saat ini dan ingin interogasi cepat selesai sehingga dia bisa cepat pulang ke rumah.

Lalu, majelis hakim akhirnya tetap memvonis Salduz 2,5 tahun penjara. “Ini tentu baru bagi anak berusia 17 tahun,” ujarnya.

Tak puas dengan vonis itu, lanjut Lawson, Salduz membawa kasus ini ke European Court of Human Rights di Strassbourg. Ia menilai bahwa penangkapan dan penyelidikan terhadap dirinya melanggar Pasal 6 European Convention on Human Rights (EHCR). Isinya adalah hak setiap orang memperoleh fair trial atau peradilan yang adil.

“Dia mengaku tidak memiliki akses kepada pengacara ketika diperiksa oleh pihak kepolisian,” ujarnya.

Lawson menjelaskan dalam persidangan di European Court of Human Rights dipahami bahwa akses terhadap pengacara memang hak dari setiap tersangka. Namun, sempat terjadi perdebatan panjang, kapan seorang tersangka berhak memperoleh hak untuk didampingi seorang pengacara.

European Court of Human Rights pun akhirnya menjatuhkan putusannya terhadap perkara ini pada November 2008. Intinya, perbuatan polisi Turki dianggap salah, karena tidak memberikan akses pengacara sejak awal ketika Salduz diperiksa.

“Akses terhadap pengacara harus diberikan ketika pertama kali diinterogasi oleh polisi,” ujar Lawson mengutip putusan itu.

Meski begitu, di dalam putusan, ada juga penyimpangan dari prinsip tersebut. Yakni, kecuali dapat ditunjukkan secara terang bahwa dalam keadaan tertentu dari kasus yang diperiksa bahwa ada alasan kuat untuk membatasi hak ini. Dalam kasus Salduz tidak ditemukan alasan kuat tersebut.

Lawson menjelaskan bahwa putusan European Court of Human Rights ini membawa implikasi panjang ke sejumlah negara Eropa. Di antaranya adalah Belanda, Inggris, dan Perancis yang langsung memberikan respon positif ke hukum di negara mereka. 

Sebelumnya, Anggota Komnas HAM Prof. Hafidz Abbas mengatakan bahwa kuliah umum Dekan Leiden Law School ini bisa bermanfaat bagi Indonesia yang terus memperjuangkan hak asasi manusia. Apalagi, sejak era reformasi, terjadi perubahan signifikan dari era otoritarian ke demokrasi, dan dari sentralistik ke desentralistik.

“Kuliah ini dapat membuka horizon kami terkait HAM. Dan dapat mempererat hubungan Komnas HAM dengan Pemerintah Belanda,” ujarnya ketika membuka acara kuliah umum ini.

Lebih lanjut, Hafidz menuturkan bahwa Komnas HAM masih sering mendapat pengaduan terkait pelanggaran hak asasi manusia. “Ada 25 pengaduan setiap hari dari seluruh Indonesia,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait