Polisi Paling Sering Melanggar Prinsip Fair Trial
Berita

Polisi Paling Sering Melanggar Prinsip Fair Trial

Kompolnas menilai minimnya pengetahuan masyarakat terhadap aturan main di tingkat penyelidikan menjadi salah satu penyebabnya.

Ali
Bacaan 2 Menit
Polisi paling sering melanggar prinsip Fair Trial peradilan yang jujur dan<br> adil terhadap masyarakat pencari keadilan. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Polisi paling sering melanggar prinsip Fair Trial peradilan yang jujur dan<br> adil terhadap masyarakat pencari keadilan. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat bahwa sepanjang tahun 2010 telah terjadi banyak pelanggaran prinsip fair trial atau peradilan yang jujur dan adil terhadap masyarakat pencari keadilan. Institusi yang dinilai paling sering menabrak prinsip ini adalah Kepolisian Republik Indonesia.

 

“Pelaku pelanggaran fair trial didominasi lembaga Kepolisian terkait penyelidikan dan penyidikan,” ujar Kepala Litbang dan Studi LBH Jakarta, Restaria F Hutabarat di Kantor LBH Jakarta, pertengahan minggu lalu, Rabu (22/12) di Jakarta. Data yang disampaikan Restaria ini merupakan catatan akhir tahun (catahu) 2010 LBH Jakarta.

 

Restaria menjelaskan sepanjang tahun ini ada 39 pengaduan terkait kasus fair trial yang masuk ke lembaga ini. Dari 39 kasus itu, ada 26 kasus pelanggaran fair trial di tingkat Kepolisian. Di lembaga Kejaksaan ada 5 kasus, lembaga pengadilan sebanyak 7 kasus, di lembaga pemasyarakatan 1 kasus dan 3 kasus di lembaga TNI.

 

Total jumlah 39 pengaduan kasus anti-fair trial ini mengalami peningkatan dibanding 2009. Pada tahun lalu, jumlah pengaduan hanya 31 kasus dan Kepolisian juga menjadi lembaga yang paling sering melanggar prinsip ini. Berdasarkan data ini, LBH Jakarta pun menilai reformasi di Kepolisian yang sedang berlangsung ini tak membuahkan hasil yang baik.

 

“Artinya reformasi institusi dan trust building di institusi kepolisian hanya sebagai ‘macan kertas’. Dalam implementasinya, institusi Kepolisian tak ubahnya sebagai ‘serigala’ yang ganas, arogan dan ingin memangsa bagi mereka yang lemah dan bermasalah dengan hukum,” demikian salah satu kesimpulan catatan LBH Jakarta.

 

Sebagai informasi, istilah fair trial merupakan prinsip yang harus dipenuhi oleh para penegak hukum –di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan-. Prinsip ini tersebar di berbagai aturan baik internasional maupun nasional. Di tingkat internasional, prinsip ini disebutkan dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, sedangkan di tingkat nasional diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Beberapa jenis prinsip fair trial adalah asas praduga tak bersalah, peradilan yang bebas dan tidak memihak, hak bebas dari penyiksaan, serta jaminan perlindungan hak asasi manusia lainnya yang harus dipenuhi terhadap tersangka atau terdakwa di tingkat penyelidikan sampai putusan pengadilan.

 

Lebih lanjut, Restaria menjelaskan isu pelanggaran prinsip fair trial yang dihadapi oleh LBH Jakarta sebenarnya relatif stabil dan tinggi sejak 2004 hingga 2010. Mayoritas kasus yang ditangani menyangkut pelanggaran kebebasan berekspresi dan berserikat, pelanggaran hak untuk bebas dari penyiksaan, jaminan hak atas rasa aman bagi pembela ham, termasuk penggunaan pasal-pasal karet pencemaran nama baik.

 

Sekretaris Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adnan Pandu Praja menilai maraknya pelanggaran fair trial di tingkat penyelidikan ini, salah satunya disebabkan, tidak pahamnya masyarakat terhadap hukum acara dan standar operasional prosedur (SOP) yang dimiliki kepolisian. “Banyak masyarakat yang tidak paham,” tuturnya.

 

Adnan Pandu menunjuk Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 yang mengatur hak tersangka dan aturan main penyidikan. “Apakah teman-teman di LBH mengetahui aturan ini?” tanyanya. Para pengacara publik di LBH Jakarta pun hanya angkat bahu untuk menjawab pertanyaan ini.

 

Lebih lanjut, Adnan Pandu menyayangkan masih banyaknya masyarakat –bahkan para pengacara publik- yang belum mengetahui aturan ini. “Bila ada orang yang sedang mengalami masalah hukum datang ke Kompolnas, biasanya saya bekali dengan peraturan ini. Dan penyidik biasanya tak berani main-main bila tersangka membawa peraturan ini,” ungkapnya.

 

Adnan Pandu tak mau menyalahkan masyarakat atau para pengacara publik yang belum melek terhadap aturan-aturan hukum positif yang berlaku. “Memang seharusnya Kepolisian Republik Indonesia memberikan akses dengan mudah sehingga masyarakat mendapatkan aturan main penyidikan termasuk SOP yang mereka pegang,” tuturnya.

 

Meski begitu, ia mengapresiasi kerja para pengacara publik LBH Jakarta selama ini. Ada atau tidaknya pengacara publik yang mendampingi tersangka di tingkat penyidikan sangat berpengaruh terhadap pemenuhan hak tersangka untuk menjamin proses peradilan yang jujur dan adil.  

 

“Ada atau tidaknya pendamping itu berbeda sekali. Bila ada pendamping dari LBH Jakarta biasanya hak-hak tersangka diperhatikan oleh penyidik. Tapi, kalau tidak ada pendamping, seringkali hak-hak tersangka diabaikan,” pungkasnya.

Tags: