“Beberapa hari lalu saya menandatangi Perma No. 3 Tahun 2014 yang mengatur hakim khusus pada pengadilan negeri dan tingkat banding untuk menangani pidana pemilu legislatif sekaligus pidana pilpres,” kata Ketua MA M. Hatta Ali saat berpidato usai melantik dan mengambil sumpah 21 ketua pengadilan tingkat banding di Gedung Sekretariat MA Jakarta, Kamis (12/6).
Hatta menjelaskan ada 4 hakim khusus yang dipersiapkan menangani tindak pidana pilpres untuk tingkat pengadilan negeri. Sementara, ada 6 hakim khusus untuk menangani tindak pidana pilpres di pengadilan tingkat banding. “Jika terjadi kekurangan, ketua pengadilan tinggi harus segera mengusulkan ke Ketua MA untuk mengusulkan penggantinya,” kata Hatta.
“Dalam waktu dekat akan ada proses pilpres, sebagai badan peradilan sangat penting kita menjaga independensi peradilan. Selain itu, sedapat mungkin kita harus mengantisipasi permasalahan badan peradilan terkait pidana khusus pemilu terutama bagi badan peradilan umum.”
Peradilan Anak
Dalam kesempatan itu, Hatta mengingatkan soal implementasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang akan berlaku efektif pada akhir bulan depan. “UU itu menuntut banyak perubahan di sana-sini dalam hal penanganan anak yang bermasalah dengan hukum,” kata Hatta.
Selain diperintahkan agar setiap pengadilan memiliki satu hakim khusus anak yang berhadapan dengan hukum, lanjut Hatta, pengadilan juga harus mempersiapkan diri bagaimana melakukan diversi dengan semangat restorative justice (pemulihan keadilan). Artinya, anak yang bermasalah dengan hukum diupayakan sedapat mungkin tidak dijebloskan ke penjara.
“Tentu kita harus mencari solusi yang terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum ketimbang memenjarakan anak. MA sedang bekerja keras, diharapkan sudah ada hasil dalam waktu dekat dan bisa dipakai sebagai pedoman (SPPA),” katanya.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan dilantiknya 21 ketua pengadilan tingkat banding baru memang akan banyak mengemban tugas khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu dan pelaksanaan SPPA. Seperti, penerapan diversi termasuk administrasi perkara yang harus segera dilakukan.
“Diversi itu cara penyelesaian untuk menyikapi perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang tidak mengedepankan pidana penjara,” kata Ridwan.
Nantinya, lanjut Ridwan, akan ada pilihan-pilihan dalam putusan pidana anak itu yang harus dijatuhkan pengadilan. Misalnya, memerintahkan upaya perdamaian atau kalau terpaksa tetap harus dijatuhi hukuman.
“Hukumannya pun harus menghindari sanksi pidana penjara. Seperti, diberi sanksi untuk menjadi anak didik di lembaga pemasyarakatan anak, dikembalikan ke orang tua dengan bersyarat. Itu menyebabkan harus ada pimpinan yang lengkap di pengadilan tinggi,” kata mantan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini.