Penyelenggara Pemilu Mudah Dijerat Pidana
Berita

Penyelenggara Pemilu Mudah Dijerat Pidana

Proses pembuktian dapat dilakukan dengan mudah.

ADY
Bacaan 2 Menit
Penyelenggara Pemilu Mudah Dijerat Pidana
Hukumonline
Mengacu penyelenggaraan Pemilu legislatif (Pileg) 2014, salah satu hal yang disorot adalah tidak profesionalnya penyelenggara Pemilu di tingkat bawah. Akibatnya, banyak pihak yang menilai kecurangan dan pelanggaran yang terjadi dalam Pileg 2014 sangat masif. Ujungnya, penyelenggara Pemilu di tingkat pusat yaitu KPU dan Bawaslu kewalahan menangani pengaduan yang masuk.

Menurut komisioner Bawaslu, Daniel Zuchron, dalam peraturan yang ada, baik itu UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD serta UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mengarahkan agar penyelenggara Pemilu profesional.

Sayangnya, Daniel melanjutkan, amanat ketentuan itu belum dapat terlaksana dengan baik dalam Pileg. Sebab, tidak sedikit penyelenggara Pemilu khususnya di tingkat bawah yang terindikasi kuat melakukan pelanggaran. Keterlibatan oknum penyelenggara Pemilu itu paling banyak terjadi pada tahap pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara.

Sebagai upaya menindaklanjuti hal tersebut, Daniel menjelaskan Bawaslu telah mengambil tindakan. Seperti memproses secara pidana dan etik kepada yang bersangkutan. Setelah mengevaluasi pelaksanaan Pileg guna menghadapi Pemilu Presiden dan Wakilnya (Pilpres) Bawaslu baru menyadari UU membuka peluang lebar untuk memidanakan penyelenggara Pemilu yang disinyalir melakukan kecurangan dan pelanggaran. Atau tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya.

Sebab, proses pembuktian untuk menyeret penyelenggara Pemilu ke ranah pidana menurut Daniel sangat mudah. Misalnya, Panitia Pemungutan Suara (PPS) wajib memampang hasil pemungutan suara dari seluruh TPS yang ada di kelurahan atau desa yang menjadi wilayahnya. Untuk membuktikan apakah penyelenggara Pemilu tingkat kelurahan atau desa itu sudah melakukan kewajibannya, maka pengawas Pemilu tinggal melihat apakah hasil pemungutan suara seluruh TPS itu sudah dipajang di kantor Kelurahan atau belum.

Jika PPS belum memampang hasil pemungutan suara menurut Daniel tergolong mudah bagi pengawas menindaklanjuti temuan itu ke ranah pidana. "Jadi lebih mudah kita memidanakan penyelenggara Pemilu, jadi bagi kawan-kawan penyelenggara Pemilu jangan main-main,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (17/5).

Atas dasar itu Daniel menegaskan ancaman pidana bagi penyelenggara Pemilu yang diatur UU Pilpres adalah nyata. Ia menghitung ada 55 pasal pidana dalam UU Pilpres yang mengatur ketentuan pidana. Untuk itu ia berharap kepada seluruh jajaran penyelenggara Pemilu baik di bawah naungan KPU atau Bawaslu untuk profesional menggelar Pemilu khususnya Pilpres.

Maraknya pelanggaran yang dilakukan penyelenggara Pemilu di tingkat bawah dalam Pileg 2014 menurut Daniel mengejutkan KPU dan Bawaslu. Pasalnya, kedua lembaga yang mengkoordinasi pelaksaan Pemilu dari tingkat pusat itu awalnya menduga hanya sedikit oknum penyelenggara Pemilu yang terlibat kecurangan dan pelanggaran. Sialnya, prediksi itu salah sehingga KPU dan Bawaslu menjadi pihak yang paling disorot atas kisruhnya penyelenggaraan Pemilu di berbagai daerah.

Menanggapi pelaksanaan Pileg, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, mencatat dalam dua bulan terakhir ada 14.556 pemberitaan yang berkaitan dengan pelanggaran Pemilu. Dari jumlah itu pemberitaan paling banyak berkenaan dengan politik uang, manipulasi suara dan kekerasan. “Tiga persoalan itu mendominasi bentuk-bentuk pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu,” urainya.

Pemberitaan tentang politik uang, menurut Rustika, merata diseluruh daerah. Tapi frekuensi pemberitaan paling banyak ada di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan. Namun, dalam sebulan terkhir pemberitaan terkait kekerasan dalam Pemilu merangkak naik. Media memberitakan kekerasan itu terjadi di tingkat lokal meliputi sejumlah wilayah seperti Aceh, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Barat dan Papua Barat.

Sementara calon legislatif (caleg) DPR partai Hanura daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Tengah (Kalteng), Pancani Gandrung, melihat kecurangan dan pelanggaran yang terjadi di lapangan tertata dengan rapi. Bahkan panitia pengawas pemilu tidak mampu berbuat banyak melihat pelanggaran yang terjadi. Ujungnya, hasil rekapitulasi di tingkat Kabupaten bisa diteruskan sampai Provinsi lalu ke pusat.

“Saya sangat menyayangkan tindakan yang dilakukan oknum penyelenggara Pemilu,” tukasnya.

Pancani mengaku khawatir jika pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam Pileg terulang lagi pada Pilpres. Sebab, investasi negara untuk menghasilkan pemimpin yang terbaik untuk bangsa lewat Pemilu bakal gagal karena ulah oknum penyelenggara Pemilu. Kecemasan Pancani bukan tanpa alasan karena ia melihat sendiri pengawas Pemilu membagi-bagikan uang dari caleg tertentu kepada pemilih.

“Kecurangan yang dilakukan itu dianggap tidak tabu lagi karena banyak oknum yang bermain,” ungkapnya.

Selaras Daniel, Pancani mengimbau agar masyarakat melaporkan penyelenggara Pemilu yang melakukan pelanggaran dan kecurangan kepada aparat kepolisian. Sebab, ada ancaman pidana yang dapat menjerat oknum tersebut. Bahkan ia berharap Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ragu dalam mengambil putusan terkait sengketa Pemilu.
Tags:

Berita Terkait