Gugatan Forum Hukum BUMN Kandas di MK
Berita

Gugatan Forum Hukum BUMN Kandas di MK

Pemohon berpandangan seharusnya MK setuju dengan pandangan Hakim Konstitusi Harjono.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 15 Tahun 2006 terkait definisi keuangan negara, kekayaan negara, dan kewenangan audit BPK terhadap BUMN yang diajukan Forum Hukum BUMN. Dalam putusan, MK menyimpulkan semua dalil yang dikemukakan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.   

“Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan bernomor 62/PUU-XI/2013 di ruang MK, Kamis (18/9).

Sebelumnya, Forum Hukum BUMN Dkk memohon pengujian konstitisionalitas Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 11 huruf a UU BPK. Pemohon menilai pengertian keuangan negara dan kekayaan negara dalam Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara menyebabkan disharmonisasi antara UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas.

Akibatnya, merugikan kedudukan BUMN selaku badan hukum perdata. Sebab, tidak ada perbedaan yang tegas saat kapan menjadi badan hukum publik dan badan hukum perdata, yang menjadi lingkup kewenangan BPK mengaudit pengelolaan keuangan BUMN. Terlebih, secara regulasi, tata kelola, dan risiko BUMN/BUMD tidak diwujudkan (masuk) dalam UU APBN.

Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” dan frasa “kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.”  

Mahkamah menyatakan pengujian Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara telah dipertimbangkan dalam putusan bernomor 48/PUU-XI/2013 yang putusannya menolak untuk seluruhnya. Menurut Mahkamah, justru timbul ketidakpastian hukum apabila Pasal 2 huruf g dan huruf i dihapus karena ada ketidakjelasan status keuangan negara yang digunakan oleh BHMN Perseroan Terbatas dalam menyelenggarakan fungsi negara.   

Menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dilihat dari perspektif transaksi bukanlah  transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara.

Sementara objek pemeriksaan BPK yang diatur Pasal 6 ayat (1) UU BPK adalah keuangan negara yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

“Norma tersebut tindak lanjut Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945 yang merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang diberikan UUD 1945 kepada pembentuk Undang-Undang sepanjang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara,” kata Hakim Konstitusi Aswanto, saat membacakan pertimbangan hukum.

Terkait kewenangan BPK, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan negara dan BUMN atau BUMD juga kepanjangan negara yang sesungguhnya milik negara dan, tidak terdapat alasan BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. Atas dasar itu, Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan Pasal 10 ayat (1), (3), Pasal 11 huruf a khususnya sepanjang frasa “Badan Usaha Milik Negara” UU BPK tidak beralasan menurut hukum.

“Meskipun demikian, supaya BUMN dan BUMD dapat berjalan sesuai dengan prinsip good corporate governance, pengawas internal, selain Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas masih tetap relevan,” pesannya.

Salah satu Hakim Konstitusi Harjono mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Harjono menyimpulkan seharusnya permohonan pengujian ini dikabulkan sebagian dengan memberi tafsir konstitusional khususnya pada frasa “Badan Usaha Milik Negara” dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UU BPK dan frasa “BUMN/BUMD” dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) UU BPK.

“MK seharusnya memberi tafsir bahwa “BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk memeriksa BUMN/BUMD Persero didasarkan atas norma pemeriksaan keuangan yang berlaku sesuai peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas dan tidak didasarkan pada norma pemeriksaan keuangan pada instansi pemerintahan,” ujar Hamdan.

Usai persidangan, kuasa pemohon Rahmat Bagja mengaku kecewa untuk putusan MK ini. Dia mengatakan seharusnya MK setuju dengan pandangan Harjono yang berpendapat ketika keuangan negara sedang dikelola (dalam BUMN) mengikuti atau tunduk pada hukum perusahaan (perseroan terbatas), bukan hukum keuangan negara.

“Minimal MK memberi tafsir sesuai pandangan Pak Harjono. Putusan MK ini seolah menyerahkan kembali pembuat undang-undang, ini akan menimbulkan persoalan baru,” kata Bagja.
Tags:

Berita Terkait