Menantu Hatta Anggap OJK Pesanan Asing
Berita

Menantu Hatta Anggap OJK Pesanan Asing

Legalitas Otoritas Jasa Keuangan kembali dipersoalkan. Dihubungan dengan kedaulatan ekonomi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung OJK. Foto: RES
Gedung OJK. Foto: RES
Ekonom Prof. Sri Edi Swasono bersuara keras terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ekonom yang juga menantu mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta itu menilai OJK sebagai pesanan asing.  

Ekonom Sri Edi Swasono memberikan pendapat saat tampil sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK di ruang sidang MK, Rabu (8/10) kemarin.

“OJK dibentuk memenuhi kepentingan asing dan upaya asing mengatur perekonomian nasional melalui tangan-tangan IMF, ADB), dan Bank Dunia untuk membuka seluas-luasnya pasar keuangan nasional bagi kepentingan dan penguasaan asing,” ujarnya.

Sri Edi berpendapat “penobatan” OJK sebagai lembaga superbody adalah skenario asing terhadap kedaulatan ekonomi nasional sebagai cerita lama untuk menyingkirkan Pasal 33 UUD 1945 asli dalam proses amandemen. “Keberadaan OJK tidak selaras dengan ‘efisensi sosial’ (efisiensi berkeadilan) karena menonjolkan fungsi ekonomis liberalistik yang diembannya,” ujar Sri Edi.

Menurut dia pembentukan OJK tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat dalam konstitusi. Indonesia justru mengambil contoh yang salah dalam membentuk lembaga ini dengan meniru rekam jejak lembaga serupa di Inggris yang disebut  Finansial Services Authority (FSA). “FSA Inggris ini kemudian dibubarkan karena dianggap gagal dalam mengatasi krisis keuangan 1998,” ujar ahli yang dihadirkan pemohon ini.

Selanjutnya, Sri Edi mempertanyakan sifat independensi lembaga OJK. Menurut dia, tidak ada satu pun lembaga serupa di negara lain yang berdiri sendiri, artinya terlepas dari otoritas bank sentral atau menteri keuangan.

Dia memberikan contoh di Belanda, The Netherlands Authority for the Financial Market, berada di bawah Kementerian Keuangan. Monetary Authority of Singapore juga menjadi semacam bank sentral di sana. Atau, di Malaysia ada Securities Commission yang anggotanya ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Lebih jauh, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia itu juga mempertanyakan wewenang OJK yang begitu besar mencakup tiga lingkup kekuasaan sekaligus yaitu legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif. Menurut dia, hal itu justru berbahaya dan mengancam kedaulatan pemerintahan negara. “Paling berbahaya, OJK sekaligus independen dalam tugas dan wewenangnya dan sekaligus bebas dari campur tangan pihak lain, lalu di mana posisi pemerintahan negara?”

Ia berpendapat sebaiknya OJK dibubarkan dengan mengamandemen UU BI. Atau, OJK secara struktur di bawah BI dengan merevisi makna independen. Opsi lain,  OJK menjadi bagian pemerintahan di bawah Kementerian Keuangan.

Pandangan serupa pernah disampaikan ahli lain, Syamsul Hadi. Akademisi ini juga menilai OJK adalah pesanan asing. Ini akan berpengaruh pada independensi OJK. Namun di persidangan, Ketua OJK Muliaman Hadad menepis tudingan bahwa OJK tak akan independen. Menurut dia, OJK tetap diawasi.

Sebelumnya, elemen masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) mempersoalkan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK terkait fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan oleh OJK. Sebab, kedua fungsi OJK itu tak diatur dalam konstitusi yang eksesnya mendorong terbentuknya pasar bebas.

Misalnya, kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 bertentangan dengan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, kata “independen” dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Pasal 5 UU OJK - yang menyebutkan OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan- dapat berdampak penumpukan kewenangan, sehingga menjadi sulit terkontrol.

Justru, Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK terhadap bank dan industri jasa keuangan dapat mengurangi  kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. Karena itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37. Pemohon juga meminta MK menghapus  frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK karena bertentangan dengan Pasal 23D UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait