Batas Usia Nikah Diskriminatif Bagi Perempuan
Utama

Batas Usia Nikah Diskriminatif Bagi Perempuan

Pernikahan anak ini juga memiliki dampak negatif bagi perempuan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Guru Besar FISIP UGM dan Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Muhadjir Darwin dalam sidang Pengujian UU Perkawinan, Kamis (30/10). Foto: Humas MK
Guru Besar FISIP UGM dan Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Muhadjir Darwin dalam sidang Pengujian UU Perkawinan, Kamis (30/10). Foto: Humas MK
Batas usia pernikahan di usia 16 tahun bagi perempuan seperti diatur Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 berdampak pada diskriminasi hak pendidikan bagi kaum perempuan. Sebab, secara tidak langsung anak perempuan hanya dapat mengakses hak pendidikan hingga sampai usia 16 tahun, sementara laki-laki bisa mengakses kesempatan mengenyam pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi (PT).

“Ketentuan itu sama saja telah merampas kebebasan untuk tumbuh dan berkembang serta menghilangkan hak pendidikan bagi kaum perempuan yang dijamin UUD 1945,” ujar Ketua Pelaksana Harian Institut Kapal Perempuan Misiyah saat dimintai pandangannya sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan di ruang sidang MK, Kamis (30/10).

Akibatnya, kata Misiyah, tingkat pendidikan rendah yang dialami kaum perempuan berujung pada kemiskinan. Berdasarkan data BPS Tahun 2010, sekitar 43,85 persen perkawinan di bawah umur terjadi secara masif di seluruh provinsi. Hal ini sebagai dampak berlakunya Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Angka ini cukup mengkhawatirkan, jika melihat dampak lanjutan mengenai perkembangan perempuan, khususnya pendidikan dan pengetahuan.

“Diperbolehkannya perempuan menikah di usia 16 tahun telah merenggut hak pendidikan yang menyebabkan kemiskinan. Pendidikan rendah, langkah perempuan mencapai kesejahteraan dan ikut bersuara dalam keluarga pun akan terhalang,” tegasnya.

Biasanya kaum perempuan yang berpendidikan rendah bekerja pada sektor informal dengan gaji rendah, seperti pelayan toko, pembantu rumah tangga, buruh tani/nelayan, atau TKI yang tingkat resikonya sangat tinggi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pun sering terjadi disamping kualitas kesehatan reproduksi yang rendah. “Jadi berakibat langsung terhadap menurunnya kualitas hidup perempuan,” lanjutnya.

Karena itu, Pasal 7 ayat (1) sangat bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak keberlangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bagi ahli, sudah seharusnya Indonesia tidak memiliki UU yang melegalkan perkawinan di bawah umur.

“Sudah waktunya Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan direvisi, menaikkan usia perkawinan bagi perempuan setara dengan laki-laki atau minimal 18 tahun sesuai dengan UU perlindungan anak,” harapnya.

Langgar hak anak
Sementara ahli pemohon lainnya, Ketua Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Muhadjir Darwin mengatakan dalam Convention on the Right of the Child (CRC), usia perkawinan anak adalah perkawinan yang terjadi di bawah usia 18 tahun. CRS secara universal menetapkan definisi anak usia 0-17 tahun. Karenanya, dengan batas usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan jelas-jelas melanggar hak anak.

“Konsep ini membentuk prinsip perlindungan atas hak anak dalam kerangka hukum international yang ada. Masa kanak-kanak bukan hanya masa belajar, tetapi perlu perlindungan dari ancaman,” ungkap Muhadjir di hadapan majelis MK yang diketuai Hamdan Zoelva.

Dia mengungkapkan perkawinan anak seringkali dipengaruhi pola pikir budaya dan sosial ekonomi masyarakat. Misalnya, kebanyakan orang yang melahirkan anak laki-laki, orang tua akan berpikir tentang pendidikan. Sebaliknya, jika melahirkan anak perempuan orang tua terpikir rencana perkawinannya nanti. Sebab, laki-laki akan bertanggung jawab atas perempuan, sehingga harus berkarir profesional.

“Anak perempuan tidak dipandang sebagai sumber income (pendapatan), tetapi dianggap sebagai beban keluarga. Sehingga, melepas secepat mungkin akan lebih baik daripada menjadi beban keluarga,” ungkapnya.

Bagi masyarakat strata rendah, kata dia, faktor kemiskinan menjadi sebab utama terjadinya perkawinan usia dini. Senada dengan Misiyah, pernikahan anak ini pun memiliki dampak negatif bagi perempuan. Misalnya, tindakan aborsi, sedikit kesempatan untuk berkembang dan mengenyam pendidikan yang layak. “Kekerasan seksual dalam perkawinan, reproduksi kurang terkontrol, status sosial rendah di di keluarga suami,” katanya.

Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum pembenaran perkawinan anak yang belum mencapai 18 tahun.

Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait