Kala Permainan Bahasa Jadi Petunjuk untuk Menjerat Koruptor
Edsus Akhir Tahun 2014

Kala Permainan Bahasa Jadi Petunjuk untuk Menjerat Koruptor

Makna sebuah kata tidak hanya tergantung pada arti yang tertera dalam kamus.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Suasana persidangan Angelina Sondakh. Foto: Sgp
Suasana persidangan Angelina Sondakh. Foto: Sgp
Apalah arti apel Malang dan apel Washington dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kata-kata tersebut tidak dilekatkan dalam konteks korupsi, apel Malang dan apel Washington hanya bermakna sebagai buah-buahan. Namun, jika dilekatkan dalam konteks korupsi, kata-kata itu menjadi petunjuk penting untuk menjerat koruptor.

Tengok saja dalam perkara suap Angelina Patricia Pingkan Sondakh. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang dipimpin Sujatmiko memaknai istilah “apel Malang” dan “apel Washington” sebagai sandi yang digunakan Angie, sapaan akrab Angelina, untuk meminta uang rupiah dan dolar kepada Mindo Rosalina Manulang.

Dengan berbekal petunjuk transkrip Blackberry Messenger (BBM) dan keterangan saksi, majelis menganggap Angie terbukti menerima hadiah dalam pengurusan anggaran di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tahun 2010 sebagaimana Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Majelis menghukum Angie dengan pidana penjara selama 4,5 tahun dan denda Rp250 juta subsidair enam bulan kurungan. Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta ini kembali dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, tetapi kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) karena judex facti (Pengadilan tingkat pertama dan banding) dianggap keliru menerapkan aturan hukum.

Kekeliruan tersebut terletak pada penerapan Pasal 11 UU Tipikor yang digunakan judex facti untuk menjerat Angie. Padahal, menurut majelis kasasi, perbuatan Angie yang meminta imbalan (fee) tujuh persen dari nilai proyek kepada Mindo bersifat aktif. Bahkan, Angie sudah meminta setengah bagian fee saat pembahasan anggaran di DPR.

Di sisi lain, Angie dinilai aktif memprakarsai pertemuan Mindo dan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendiknas Harris Iskandar. Angie juga aktif berkomunikasi melalui telepon dan BBM mengenai tindak lanjut, perkembangan upaya penggiringan anggaran, dan penyerahan fee dengan Mindo.

Oleh karena itu, majelis kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar mengadili sendiri perkara Angie. Majelis memperberat hukuman Angie menjadi 12 tahun, serta menyatakan mantan anggota Badan Anggaran dan Komisi X DPR ini terbukti melakukan korupsi secara berlanjut sebagaimana Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Angie juga dihukum dengan pidana denda Rp500 juta subsidair delapan bulan kurungan dan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp12,58 miliar dan AS$2,35 juta. Pidana tambahan ini dijatuhkan karena Angie terbukti menerima uang dari Permai Grup yang seluruhnya berjumlah Rp12,58 miliar dan AS$2,35 juta.

Penerimaan uang itu dilakukan secara berturut-turut kurang lebih 16 kali dalam kurun waktu tahun 2010. Misalnya saja, pada 5 Mei 2010. Berdasarkan catatan kas Permai Grup, perusahaan milik M Nazaruddin ini mengeluarkan uang Rp5 miliar untuk memenuhi permintaan Angie dalam pengurusan anggaran Wisma Atlet Kemenpora.

Kemudian, Mindo dan Angie sempat berkomunikasi melalui BBM dengan menggunakan bahasa sandi. Antara lain, “Sedang sy cari yg bisa memenuhi aple amerika”, “Tp, apel Washington ya bu”, “1 kilo dulu ya bu, krn stock ku habis” yang selanjutnya dibalas Angie, “Oke deh, tapi jangan lupa kekurangannya apel malang aja ya”.

Walau Angie tidak mengakui isi BBM tersebut, majelis menganggap transkrip/print out BBM dapat dijadikan sebagai bukti petunjuk adanya penerimaan uang. Pasalnya, bukti BBM itu dikuatkan oleh keterangan Mindo, bukti pengeluaran kas Permai Grup, serta rentetan peristiwa yang terjadi sebelum penerimaan uang.

Alhasil, majelis berkesimpulan telah terjadi penerimaan uang yang seluruhnya berjumlah Rp12,58 miliar dan AS$2,35 juta. Penerimaan uang itu merupakan perwujudan dari kehendak Angie yang berhubungan dengan jabatannya, dimana Angie telah menyanggupi untuk mengupayakan alokasi anggaran proyek Universitas Negeri dan Wisma Atlet.

Permainan bahasa
Berkaca dari putusan ini, terlihat adanya perkembangan perspektif hakim dalam memaknai permainan “bahasa” yang digunakan para koruptor. Hakim tidak menerjemahkan bahasa tersebut secara kaku dengan mengacu pada pemaknaan denotatif, tetapi melihat konteks penggunaan bahasa yang bermakna konotatif.

Menurut Yudi Kristiana, Jaksa KPK yang menjadi salah seorang pembicara dalam acara Sekolah Hukum Progresif di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dalam perspektif hukum progresif, penegak hukum tidak boleh membiarkan dirinya terbelenggu oleh tali kekang rules secara absolut, tapi juga harus melihat perubahan konteks sosial.

Dalam kasus suap Angie misalnya. Penuntut umum tidak membuktikan fisik uang yang diterima Angie, melainkan membuktikan adanya permintaan dan penerimaan uang melalui bahasa-bahasa sandi yang digunakan Angie dan Mindo melalui BBM. Pembuktikan itu ternyata diamini pula oleh majelis hakim hingga tingkat kasasi.

Dengan demikian, Yudi mengatakan, upaya tersebut sebagai bentuk terobosan dalam pemaknaan hukum dengan perspektif hukum progresif. Pertama, dengan memaknai sandi “apel Malang” sebagai uang rupiah dan “apel Washington” sebagai uang dolar, sehingga permintaan dan penerimaan apel diartikan sebagai permintaan dan pemberian uang.

Kedua, dengan memaknai kata “jualan apelnya laris sehingga minta dikirim” sebagai bentuk permintaan uang, dan ketiga dengan memaknai kata “terima kasih atas kirimannya” sebagai bentuk telah terjadi “levering” yang artinya permintaan uang itu telah sampai kepada Angie sebagaimana permintaan Angie kepada Mindo.

Namun, permainan bahasa sandi ini tidak hanya terungkap dalam perkara Angie. Berdasarkan catatan hukumonline, permainan bahasa sandi juga sempat terungkap dalam perkara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar yang menggunakan istilah “ton emas” dan “ekor” untuk menyebut uang.

Selain itu, terungkap pula dalam perkara mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tedjocahyono. Dalam rekaman percakapan Rudi dan Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas Gerhard Rumesser, Rudi mengistilahkan “titipan” dengan kata “ikat” dan “sepukul”.

Begitu pula dalam perkara Setyabudi. Dalam percakapan Toto Hutagalung dan Dada Rosada yang ketika itu menjabat Walikota Bandung, terungkap istilah “Ijazah tak keluar kalau tak ada buku” dan “meter”. Istilah buku ini diartikan sebagai uang satu juta, sedangkan istilah “meter” digunakan untuk menyebut miliar rupiah.

Istilah “permainan bahasa” ini sebenarnya sudah diperkenalkan oleh filsuf Ludwig Wittgenstein. Dalam buku “The Greatest Philosophers - 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis”, Wittgenstein berpendapat bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat penggambaran kenyataan. Akan tetapi, bahasa tergantung pula pada konteksnya atau lebih dikenal dengan istilah permainan bahasa (language game).

Wittgenstein mengibaratkan bahasa sebagai sebuah alat. Makna sebuah kata tidak hanya tergantung pada arti yang tertera dalam kamus, tetapi tergantung juga pada saat konteks digunakan.
Tags:

Berita Terkait