Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan
Fokus

Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan

Selama puluhan tahun, Surat Edaran menjadi bagian dari kebijakan sejumlah lembaga negara. Daya ikat, kedudukan, dan mekanisme pengujiannya masih menjadi perdebatan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Sejak 1951, Mahkamah Agung sudah lazim mengeluarkan Surat Edaran, yang lazim disingkat SEMA, sebagai bagian dari fungsi pengaturan Mahkamah Agung (regelende functie). Nyaris tak banyak yang mempersoalkan legalitas semua SEMA itu. Reaksi berbeda justru muncul ketika Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014. SEMA ini mengatur pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana. Intinya, SEMA ini menegaskan permohonan PK hanya boleh diajukan satu kali.

Substansi SEMA ini langsung memantik kritik. MA dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memperbolehkan pengajuan PK pidana berkali-kali. MA membantah telah membangkang pada tafsir konstitusi yang dibuat MK. Lepas dari pro kontra itu, persoalan hakiki yang perlu dijawab adalah dimana posisi Surat Edaran (SE) dalam tata urusan perundang-undangan dan bagaimana mekanisme pengujiannya. Lebih mendasar lagi, apakah SE masuk kategori peraturan perundang-undangan?

Patut dicatat bahwa SE bukan hanya diterbitkan Mahkamah Agung. Banyak lembaga negara menerbitkan SE, bahkan untuk hal-hal yang penting, yang seharusnya dimuat dalam bentuk perundang-undangan lain. Menteri-menteri juga sering menerbitkan. Tidak mengherankan jika ada sejumlah SE yang menimbulkan heboh di 2014 lalu. Bahkan ICW secara terbuka meminta Menteri Hukum dan HAM mencabut Surat Edaran Menteri No. 04 Tahun 2013 tentang juklak pemberlakuan PP No. 99 Tahun 2012. Lantaran dinilai memicu kontroversi remisi untuk terpidana koruptor, ICW berencana ‘menggugat’ SE Menkumham itu ke Mahkamah Agung.

Peraturan kebijakan
Apakah SE masuk kategori perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?

Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Urutannya UUD 1945, TAP MPR, UU/Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda kabupaten/kota. Tidak ada penyebutan SE secara eksplisit.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan SE memang bukan peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan. “Masuk peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving),” ujarnya kepada hukumonline.

Pandangan Bayu Dwi Anggono ini sejalan dengan sejumlah doktrin yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie, HAS Natabaya, HM Laica Marzuki, dan Philipus M. Hadjon. Surat-surat edaran selalu mereka masukkan sebagai contoh peraturan kebijakan. “Beleidsregel dan pseudo wetgeving adalah produk hukum yang isinya secara materil mengikat umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan karena ketiadaan wewenang pembentuknya untuk membentuknya sebagai peraturan perundang-undangan,” jelas dosen ilmu perundang-undangan itu.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) juga punya pandangan serupa. Lembaga pemerhati hukum ini berpendapat Surat Edaran – dalam konteks ini SEMA—bukan produk perundang-undangan, melainkan sebagai instrumen administratif yang bersifat internal. Surat Edaran ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.

Putusan MA
Jika SE bukan peraturan perundang-undangan, lantas bagaimana menguji keabsahannya? Jika bukan keputusan, berarti SE tak bisa digugat ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Praktek selama ini, SE yang tak sesuai dicabut sendiri oleh instansi yang mengeluarkan.

Untuk menjawab pertanyaan tadi, bisa coba dilihat dari Pasal 24A UUD 1945. Pasal ini menegaskan MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Dengan rumusan itu berarti MA berwenang menguji semua jenis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah Undang-Undang, misalnya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah. Bagaimana dengan Surat Edaran?

Jika asumsinya SE bukan peraturan perundang-undangan, maka MA tak bisa mengujinya terhadap Undang-Undang. Sebaliknya, jika SE termasuk kategori peraturan perundang-undangan, maka MA berwenang melakukan pengujian. Ini juga berarti SEMA bisa diuji ke Mahkamah Agung. 

Pertanyaan tentang boleh tidaknya MA menguji SE terjawab lewat putusan MA No. 23P/HUM/2009. Dalam putusan ini MA membatalkan SE Dirjen Minerba dan Panas Bumi No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Perppu No. 4 Tahun 2009.

Begini pertimbangan majelis hakim agung dalam perkara ini: walaupun SE tidak termasuk dalam urutan peraturan perundang-undangan, tetapi berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004, SE dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang sah, sehingga tunduk pada tata urutan peraturan perundang-undangan.

Pertimbangan yang hampir sama bisa dibaca dalam putusan MA No. 3P/HUM/2010. Di sini, ada surat biasa yang menurut majelis hakim berisi peraturan (regeling), sehingga layak menjadi objek permohonan hak uji materiil sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2004.

Putusan MA ini menegaskan SE bisa dimohonkan uji materiil ke Mahkamah Agung. Lantas, apakah SEMA juga bisa dimohonkan uji ke lembaga yang menerbitkannya? Bayu Dwi Anggono mengatakan mekanisme pengujian SEMA belum dikenal dalam peradilan tata negara kita, sehingga berpotensi menjadi tirani. Minimal ada warga yang potensial dirugikan oleh berlakunya SEMA atau surat edaran lain. Dalam kasus SEMA No. 7 Tahun 2014, yang rugi adalah pencari keadilan.

Memang ada preseden, Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang yang menyangkut dirinya sendiri. Bahkan membatalkan Undang-Undang yang membatasi kewenangannya. Merujuk pada preseden ini, pengujian SEMA di Mahkamah Agung boleh-boleh saja.

Mengingat ketidakjelasan itu, Bayu Dwi Anggono berpendapat setiap beleidsregel tetap harus tunduk pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Ia harus menaati asas pembentukan peraturan kebijakan yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving). Menurut dia, peraturan kebijakan yang secara secara tidak langsung mengikat publik akan menimbulkan masalah jika pembentukannya tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan, baik formil maupun materil. Surat Edaran berpotensi menjadi ‘kerikil’ dalam sistem peraturan perundang-undangan.

Apalagi dalam praktek, tak jelas benar batasan materi apa yang boleh diatur SE. Masih ingat ada SEMA yang menyatakan tidak berlaku bagian Undang-Undang kan? Ini mencerminkan ‘kekuatan’ SEMA.

Dalam konteks itu, Guru Besar FH Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Achmad Ali (almarhum) pernah menulis begini: “Kiranya janganlah sekadar menjadi nostalgia indah, dimana hanya dengan selembar SEMA, seorang professor hukum yang menjadi Ketua Mahkamah Agung dapat menjadikan tidak berlaku pasal-pasal dari suatu Undang-Undang yang tak sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat”.
Tags:

Berita Terkait