MA Tepis Tuduhan Membangkang Konstitusi
Utama

MA Tepis Tuduhan Membangkang Konstitusi

Revisi KUHAP adalah solusi terbaik menyelesaiakan persoalan pengajuan PK ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MA M Hatta Ali. Foto: RES
Ketua MA M Hatta Ali. Foto: RES
      34/PUU-XI/2013 yang     “Kami katakan putusan MK hanya terkait pembatalan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Tetapi, UU yang menjadi landasan bekerjanya lembaga peradilan,” ujar Hatta Ali saat penyampaian Refleksi Akhir Tahun 2014 di Kantornya, Rabu (7/1).     “Karena masih berlaku, hakim harus menerapkan itu. Seharusnya, kalau mau konsisten PK berkali-kali berlaku untuk semua jenis perkara,” kata dia. “Tetapi, hingga saat ini saya tetap konsisten PK hanya sekali untuk semua jenis perkara.”       Hatta melanjutkan badan peradilan lebih mengetahui problematik pengajuan PK ketimbang lembaga lain. MA sendiri tak bisa menbayangkan bagaimana sulitnya menangani PK jika dibolehkan diajukan berkali-kali untuk semua jenis perkara. “Kalau pengajuan PK dapat diajukan berkali-kali. Seperti, para terpidana bandar narkoba yang sudah ditolak PK dan grasinya, tetapi masih PK kedua dan seterusnya, kapan selesainya perkara itu?”     Hatta juga balik mengkritik dengan mempertanyakan konsistensi MK dalam memutus perkara ini. Dia menilai putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 saling bertentangan dengan  tertanggal 15 Desember 2010. “Silahkan disimak kedua putusan MK itu karena saya tidak boleh mengomentari putusan, karena putusan sebelumnya menonjolkan adanya kepastian hukum  (dalam pengajuan PK),” kata dia.   Untuk diketahui, dalam putusan MK No. 16 itu, MK tak menerima uji materi Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU No 3 Tahun 2009 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang mengatur PK hanya bisa diajukan sekali. Pasalnya, pemohon yakni Muh Burhanuddin dan Rahmat Jaya yang berprofesi sebagai advokat, dianggap tak memiliki .   Salah satu pertimbangannya, MK menyatakan jika pengajuan PK tidak dibatasi justru akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum, sampai berapa kali pengajuan PK dapat dibolehkan? Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembatasan ini tidak bersifat diskriminatif sesuai Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.   Karena itu, pembatasan itu telah memberikan kepastian hukum atas penyelesaian suatu perkara, sehingga seseorang tidak dengan mudahnya melakukan upaya hukum PK secara berulang-ulang. Lalu, pertimbangan putusan itu kembali diadopsi dalam MK yang menguji pasal-pasal yang sama yang diajukan terpidana seumur hidup kasus narkotika, Liem Mariata alias Aling.       MA menegaskan penerapan pengajuan PK tidak diterapkan secara kaku dalam praktik karena pengajuan PK kedua masih dimungkinkan dengan syarat-syarat yang ketat. Hal itu diatur dalam SEMA No. 10 Tahun 2009 yang memungkinkan PK kedua apabila ditemukan pertentangan antarputusan. “Kita bijaksana, karena PK kedua dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang cukup ketat. Apakah pantas kalau MA disebut pembangkang?”              

Revisi KUHAP
Dalam kesempatan itu, Hatta berpendapat revisi KUHAP adalah solusi terbaik menyelesaiakan persoalan pengajuan PK ini. “Kita harapkan pembuat undang-undang segera merevisi KUHAP  apakah dimasukan pembatasan jumlah PK atau pembatasan waktu pengajuan PK,” usulnya.

Juru Bicara MA Suhadi menambahkan MA tidak akan merevisi SEMA itu hingga KUHAP direvisi. “Sampai sekarang posisinya tetap, SEMA tidak akan diperbaiki. Sampai ada revisi KUHAP terkait ketegasan soal PK,” imbuhnya.

Dirinya menyambut baik inisiatif Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno untuk berkoordinasi bersama MK, MA, Kejaksaan Agung, dan Kemenkumham guna menyamakan persepsi eksekusi pidana mati yang mengajukan PK.  “Silahkan saja, beliau punya inisatif yang baik kita serahkan pada beliau. Sebelum akhir tahun pernah ada rapat, MA diundang mengenai hukuman mati, kita juga ikut,” katanya.
Di tengah derasnya kritikan, Ketua Mahkamah Agung (MA) M Hatta Ali menegaskan tidak akan mencabut SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Surat Edaran (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali Hanya Satu Kali. MA bersikukuh tetap akan menerapkan SEMA itu sebagai pedoman bagi hakim terkait pengajuan permohonan PK.

Hatta membantah pembentukan SEMA ini membangkang konstitusi dengan mengabaikan putusan MK No. membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berimplikasi PK dapat diajukan berkali-kali. Diakuinya,SEMA itu seolah-olah membangkang terhadap putusan MK, padahal dalam SEMA tidak menyebut putusan MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.     

Kekuasaan Kehakiman dan UU MA justru membatasi PK hanya sekali

Dia menegaskan tidak turut dihapusnya ketentuan PK hanya sekali dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA menjadi dasar terbitnya SEMA itu, sehingga ketentuan PK hanya sekali masih berlaku. Terlebih, kedua undang-undang bersifat umum dan pokok yang mengatur asas-asas umum yang tidak boleh dilanggar aturan turunannya.





Menurutnya, kalau praktiknya PK bisa diajukan berkali-kali secara langsung melanggar prinsip justice delay and justice denied karena prosesnya tidak ada batasnya. Sebab, sebagian besar pihak yang mengajukan PK kedua hanya sekedar menunda-nunda eksekusi. “PK kedua sangat jarang diterima karena umumnya pengulangan PK pertama,” lanjutnya.

Putusan No. 16/PUU-VIII/2010

legal standing



putusan



MA tidak menerbitkan SEMA secara sembarangan karena penyusunan melibatkan tim kelompok kerja (pokja). “Kalau disebut membangkang, kita tidak seenaknya menerbitkan. Kami melakukan penelitian dan membahasnya dan ada tim pokjanya. Dalam putusan MK No. 34 itu tidak disinggung UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA,” kata Hatta.

Selain itu, MA memiliki wewenang sendiri menentukan aturan internal peradilan yang tidak terikat dengan lembaga lain. Penerbitan SEMA ini merupakan bagian dari sikap independensi MA. “Tetapi, kita tidak mau menuduh siapa yang salah atau benar, tidak etis. Tetapi, marilah kita diskusikan polemik persoalan ini,” harapnya.  
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait