Ini Usulan KPU atas Revisi UU Pilkada
Berita

Ini Usulan KPU atas Revisi UU Pilkada

Antara lain tentang waktu pelaksanaan Pilkada serentak dan penanganan sengketa.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung KPU. Foto: RES
Gedung KPU. Foto: RES
Persetujuan DPR atas Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU selaras dengan persiapan pelaksanaan Pilkada yang dilakukan KPU. Persiapan oleh KPU harus disesuaikan dengan hasil revisi UU Pilkada yang sekarang masih digodok DPR. Komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengatakan secara umum KPU pusat dan daerah siap melaksanakan Pilkada sesuai ketentuan yang ada.

Dijelaskan Ferry, KPU memberi catatan terhadap beberapa ketentuan dalam  revisi aturan Pilkada. Misalnya tentang waktu pelaksanaan Pilkada serentak. Walau KPU siap menggelarnya tahun ini tapi lembaga yang mengurusi Pemilu itu mengusulkan agar digelar 2016. Sehingga sesuai dengan siklus Pemilu dan persiapannya lebih matang.

KPU juga mengusulkan revisi UU Pilkada itu harus memperhatikan pelaksanaan Pillkada di daerah khusus seperti Aceh, Yogyakarta dan Papua. Harus ada aturan yang mengatur agar pelaksanaan Pilkada di daerah-daerah khusus itu tidak berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

Usulan lain tentang penanganan sengketa proses dan hasil Pemilu, dan pelaksanaan Pilkada di 14 daerah otonomi baru dan anggaran. “Kami menunggu UU Pilkada diundangkan dan memberi sejumlah catatan (masukan) terhadap revisi UU Pilkada,” katanya dalam diskusi di Media Center KPU di Jakarta, Jumat (23/1).

Penerbitan 10 peraturan KPU tentang Pilkada menurut Ferry juga menunggu revisi UU Pilkada itu diundangkan. Padahal, proses pembahasan rancangan peraturan KPU itu sudah selesai dan siap diterbitkan. Namun, sebagaimana permintaan Komisi II dalam rapat dengar pendapat di DPR, Rabu (22/1), penerbitan peraturan KPU itu ditunda sampai revisi UU Pilkada selesai. “Kami harap DPR segera menyelesaikan revisi UU Pilkada sesuai dengan kesepakatan dalam RDP kemarin,” ujar Ferry.

Walau begitu Ferry mengingatkan, dalam penyelenggaraan Pilkada dibutuhkan peran lembaga lain, terutama DPRD dan pemerintah daerah (pemda) karena terkait penganggaran. KPU telah menjalin komunikasi dengan Kemendagri agar dilakukan supervisi melekat atas penganggaran pilkada di daerah.

Komisioner KPU lainnya, Arief Budiman, menjelaskan ada beberapa hal yang terlewat disampaikan dalam RDP dengan Komisi II kemarin. Misalnya, dari 204 kabupaten/kota/provinsi yang akan menggelar Pilkada 2015, ada 3 daerah yang pemikirannya berbeda. Mereka menolak Pilkada langsung sehingga tidak mau melaksanakan persiapan untuk menyelenggarakan Pilkada.

Dari 204 daerah itu, Arief melanjutkan, 75 persen selesai membahas anggaran Pilkada. Sisanya, belum membahas penganggaran untuk Pilkada karena menunggu keputusan DPR apakah Perppu Pilkada itu disetujui jadi UU atau ditolak. “Fakta-fakta itu yang harus diperhatikan karena mempengaruhi kelancaran digelarnya Pilkada,” paparnya.

Sebagaimana Ferry, Arief menilai persiapan Pilkada bukan hanya dilakukan KPU, tapi juga lembaga lain. Selain soal alokasi anggaran untuk Pilkada, perlu diperhatikan juga tentang personil KPU di daerah. Pemda dan DPRD harus mendukung ketersediaan personil KPU di daerah untuk melaksanakan Pilkada.

Rekan Arief di KPU, Juri Ardiantoro, menyebut dalam rapat di Komisi II kemarin masih ada yang mempertanyakan posisi KPU sebagai penyelenggara Pilkada apakah tepat atau tidak. Itu terjadi karena masih ada yang memandang KPU hanya menyelenggarakan Pemilu, bukan Pilkada. Oleh karenanya ia usul agar revisi UU Pilkada menuntaskan persoalan itu. “Pimpinan Komisi II juga sudah menyebut itu harus diselesaikan dalam revisi UU Pilkada,” paparnya.

Selain itu, dikatakan Juri, Komisi II juga mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada dikaitkan dengan keefektifan pemerintahan. Juri mengatakan KPU sepakat dengan itu dan melihat hal tersebut sebagai bagian dari pembenahan proses Pemilu.

Juri menyebut KPU mengusulkan untuk kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2015-2016 maka Pilkada serentak dilakukan 2016. Bagi kepala daerah yang jabatannya berakhir 2017-2018 maka Pilkada serentak dilakukan untuk daerah yang bersangkutan pada 2017. “Karena 2018 itu sudah masuk tahapan Pemilu Nasional. Kalau berbenturan waktunya nanti menyulitkan penyelenggara Pemilu,” tukasnya.

Peneliti senior LIPI sekaigus dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Syamsuddin Haris, berpendapat pelaksanaan Pilkada langsung dan serentak harus diarahkan untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif. “Pilkada serentak tidak bisa dilihat terpisah dengan pemilu serentak. Itu bukan sekedar efisiensi, tapi meningkatkan efektifitas pemerintahan presidensiil,” ucapnya.

Haris mengatakan LIPI menilai Pilkada serentak bagian dari Pemilu lokal serentak yang terpisah dari Pemilu nasional serentak. Mengacu putusan MK, Pemilu lokal serentak (Pilkada) dilaksanakan 2,5 tahun setelah pemilu nasional serentak yakni memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD.

Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang fokus di bidang  kepemiluan mengusulkan Pemilu serentak dilakukan secara terpisah. Yakni pemilu nasional memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR dan DPD sedangkan Pemilu lokal memilih kepala daerah dan DPRD.

Selain itu Haris menilai Pilkada serentak akan sangat rawan jika dilaksanakan 2015. Ia sepakat dengan usulan KPU agar Pilkada serentak diselenggarakan 2016. Tahapan Pilkada menurutnya juga harus dipangkas, karena jika dihitung prosesnya dari awal sampai penyelesaian sengketa bisa sampai 17 bulan.

Perlu juga diselesaikan dalam revisi UU Pilkada, dikatakan Haris, perbedaan pandangan yang muncul selama ini terkait Pilkada apakah bagian dari Pemilu atau tidak. Menurutnya, Pilkada sama seperti Pemilu. “Itu yang harus dicermati DPR dalam revisi UU Pilkada,” usulnya.

Haris mengingatkan untuk jadwal Pilkada yang pelaksanaannya lebih cepat atau lambat dari masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan harus ada payung hukumnya. Ia memperkirakan hal itu akan dimasukan dalam revisi UU Pilkada.
Tags: