Aturan Pengangkatan Kapolri Digugat
Berita

Aturan Pengangkatan Kapolri Digugat

MK diminta mempercepat proses persidangan uji materi UU ini agar bisa segera mengatasi sengkarut institusi Polri dan KPK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Denny Indrayana saat mendaftarkan permohonan pengujian UU Kepolisian di Gedung MK, Senin (26/1). Foto: ASH
Denny Indrayana saat mendaftarkan permohonan pengujian UU Kepolisian di Gedung MK, Senin (26/1). Foto: ASH
Polemik pengangkatan Kapolri yang berujung konflik Polri dan KPK akhirnya mampir ke Mahkamah Konstitusi (MK). Guru Besar UGM Prof Denny Indrayana bersama sejumlah LSM yakni  Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (PuSako), Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) memohon pengujian UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Mereka juga mempersoalkan mekanisme penangkatan Panglima TNI, lewat permohonan pengujian UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Intinya, para pemohon mempersoalkan konstitusionalitas “persetujuan DPR” dalam proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI. Spesifik, mereka menyasar Pasal 11 ayat (1) sampai ayat (5) UU Polri dan Pasal 13 ayat (2), (5), (6), (7), (8), dan ayat (9) UU TNI yang mengatur mekanisme pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

“Seharusnya,pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI itu merupakan hak prerogatif presiden. Tidak perlu melibatkan atau dengan persetujuan DPR,” ujar salah satu pemohon, Denny Indrayana usai mendaftarkan uji materi UU Polri dan UU TNI di gedung MK, Kamis (26/1).

Misalnya, Pasal 11 ayat (1) UU Polri menyebutkan Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Pasal 13 ayat (2) UU TNI menyebutkan menyebutkan Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Denny menegaskan proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sejatinya merupakan hak prerogatif presiden.Karenanya, kedua aturan itu dinilai melanggar hak prerogatif presiden sebagai bagian sistem presidensial yang dijamin Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Sesuai konstitusi, presiden memiliki kekuasaan atas pemerintahan negara. “Intinya, kita minta pelibatan dan atau persetujuan DPR dihilangkan,” kata Denny.

Menurut mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu, setelah perubahan UUD 1945 sebenarnya presiden Indonesia tidak memiliki hak prerogratif yang merupakan salah satu ciri sistem presidensial. Kewenangan presiden  Indonesia dinilai unik karena zero hak prerogratif. Misalnya, dalam pengangkatan kabinet saja diatur dalam UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, seperti jumlah menterinya berapa dan sebagainya yang terkesan membatasi hak prerogative presiden.

“Kita berharap hak prerogatif dikembalikan pada konsep yang benar dalam sistem presidensial. Jadi, kita dorong agar apapun kondisinya konsep pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI dikembalikan sebagai hak prerogratif presiden tanpa persetujuan DPR.”

Dia mengungkapkan apabila pengujian UU ini dikabulkan dapat menjadi salah satu solusi sengkarut pengangkatan Calon Kapolri Budi Gunawan (BG). Sebab, dalam kondisi saat ini Presiden Jokowi dalam posisi sulit dalam memutuskan status Budi Gunawan yang telah disetujui DPR.

“Kalau Jokowi membatalkan BG dan menunjuk calon Kapolri baru, DPR bakal ribut. Jadi, kalau frasa ‘dengan persetujuan DPR’ di pasal-pasal itu dibatalkan, Jokowi tidak perlu ‘pusing’ lagi dengan DPR,” kata dia.     

Meski begitu, apabila frasa “persetujuan DPR” itu dibatalkan, mekanisme pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI tetap harus menggunakan mekanisme yang baik (partisipatif dan akuntabel) dengan melibatkan KPK, PPATK, dan Ditjen Pajak. “Ini agar dapat terpilih Kapolri dan Panglima TNI yang bersih,” harapnya.

Pihaknya berharap MK dapat mempercepat proses persidangan uji materi UU ini agar bisa segera mengatasi sengkarut institusi Polri dan KPK yang berimbas pada pelemahan KPK, bahkan menghancurkan KPK. Mengingat situasi konflik Polri dan KPK semakin meruncing. “MK biasanya bisa memutus dengan cepat, tidak sampai sebulan. Tetapi, tentunya kita tidak ingin membatasi MK, ini adalah kewenangan MK. “Sedangkan inisiator lainnya, Prof Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar nantinya Insya Allah akan menjadi ahli.”

Perwakilan dari ICW, Emerson Juntho menilai hak prerogatif dalam konteks pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI selama ini berlaku sistem presidensial tidak murni karena semuanya harus lewat persetujuan DPR. Dalam kasus BG, ada usulan dilantik saja dulu, lalu dinonaktifkan. Tetapi, ternyata praktiknya tidak mudah. Apalagi, ketika dinonaktifkan lagi-lagi harus ada persetujuan DPR.

“Nah kalau DPR tidak setuju lagi artinya apa? Kapolrinya kan tetap BG. Makanya, kita butuh dukungan MK untuk segera menyelesaikan konflik antara BG dengan KPK dengan memprioritaskan pemeriksaan permohonan ini,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait