Praperadilan Penetapan Tersangka Tak Harus Selalu Dikabulkan
Berita

Praperadilan Penetapan Tersangka Tak Harus Selalu Dikabulkan

Saatnya untuk mewujudkan revisi KUHAP.

Oleh:
MYS/ADY
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan di PN Jaksel, Senin (9/2). Foto: RES.
Suasana sidang praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan di PN Jaksel, Senin (9/2). Foto: RES.
Putusan PN Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan praperadilan Komjen (Pol) Budi Gunawan bukan saja membuat penetapan status tersangkanya tidak sah, tetapi juga berimbas. Putusan ini bisa menjadi pintu masuk kepada setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka mengajukan praperadilan. Pengadilan dikhawatirkan akan ‘banjir’ permohonan praperadilan.

Namun, putusan ini tak bisa dijadikan dalil untuk memastikan bahwa setiap permohonan praperadilan akan dikabulkan. Seorang hakim di Indonesia bersifat independen, dalam arti tidak terikat sepenuhnya dengan putusan hakim lain. Selain itu, akademisi hukum tata negara Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, berpendapat setiap kasus memiliki karakteristik berbeda.

Karakteristik itu bisa dilihat dari kasus posisi, dalil, bukti, saksi, dan ahli yang dihadirkan. “Hakim dalam memeriksa setiap permohonan praperadilan atas penetapan tersangka tentu harus melihat posisi kasus per kasus,” ujarnya kepada hukumonline.

Satu hal yang pasti dari putusan PN Jakarta Selatan, pengadilan mengakui penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Ada ‘perluasan’ cakupan praperadilan yang selama ini ditetapkan Pasal 77 KUHAP. Putusan ini normatifnya tak bisa dibanding dan dikasasi. Upaya Peninjauan Kembali (PK) masih menjadi perdebatan. Ada putusan yang membolehkan, ada pula yang tidak. Tetapi ada kemungkinan KPK mengajukan upaya hukum luar biasa ini.

Apapun putusan hakim, semua pihak harus menghormatinya. Bahwa nanti pengadilan akan banyak direpotkan oleh permohonan praperadilan, itu masih prediksi yang belum tentu benar. Jika terbukti kelak banyak, akademisi Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung Agustinus Pohan termasuk yang mengkhawatirkan implikasinya. “Tentu akan membebani,” ujarnya.

Putusan praperadilan ini justru sebaiknya momentum yang pas untuk mewujudkan revisi UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah mengatakan agar kasus-kasus sejenis tidak mengacaukan sistem peradilan pidana, sebaiknya pemerintah dan DPR segera merevisi KUHAP. “Kita satu pandangan kalau KUHAP itu perlu direvisi, agar tidak mengacaukan sistem,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait