Anggota Komisi III Usul Penegakan Hukum Dilakukan Satu Atap
Berita

Anggota Komisi III Usul Penegakan Hukum Dilakukan Satu Atap

Dimulai dengan melakukan revisi terhadap sejumlah UU yang mengatur lembaga penegak hukum.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Sarifuddin Sudding. Foto: SGP
Sarifuddin Sudding. Foto: SGP
Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, kerap terjadi kekisruhan antar lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini dikarenakan tumpang tindihnya penanganan suatu perkara. Dalam rangka memaksimalkan integrated criminal justice system, diperlukan penegakan hukum satu atap. Hal itu diutarakan Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding, dalam sebuah diskusi di Gedung MPR, bertajuk ‘Sinergisitas Lembaga Penegak Hukum’, Senin (18/5).

Menurutnya antara lembaga kepolisian, kejaksaan memiliki kewenangan masing-masing. Namun, dalam penanganan perkara acapkali ditemukan bola-balik berkas perkara yang tak kunjung usai, atau biasa dikenal berkas P21. Sudding berpandangan perlunya revisi UU yang menjadi payung hukum bagi lembaga Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Mahkamah Agung.

Dengan direvisinya sejumlah UU yang berkaitan dengan penegak hukum, Sudding berharap penegakan hukum menjadi satu atap seperti halnya di KPK. Dengan begitu, berkas perkara tak akan bolak balik. Begitu pula penyidik dan penuntut umum sudah terlibat dalam penanganan perkara mulai tingkat awal. Langkah itu pula menjadi bentuk penguatan pembuktian perkara terhadap seorang terdakwa di pengadilan.

“Selain sudah terlibat dari proses awal, juga menghindari ruang untuk membuat kegaduhan dalam penegakan hukum,” ujarnya.

Politisi Hanura itu mengatakan, sistem satu atap hanya berlaku dalam proses penegakan hukum. Misalnya, kepolisian hanya fokus pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan kejaksaan fokus pada tahap penuntutan. Selain memungkinkan penaganan perkara jauh lebih cepat, sistem satu atap dalam penegakan hukum dapat mempererat hubungan lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.

“Tidak seperti sekarang ada kasus yang disidik oleh kepolisian, tapi kejaksaan juga sidik,” katanya.

Lebih jauh, Ketua Fraksi Hanura di MPR itu mengusulkan perlunya revisi sejumlah UU yang berkaitan dengan penegakan hukum. Menurutnya, membangun sistem satu atap dengan dimulai merevisi sejumah regulasi yang mengatur kepolisian, kejaksaan, KPK dan peradilan supaya tidak ada gesekan.

“Kita sudah ada format yang akan dibuat supaya tidak ada gesekan, kemudian tidak ada P19,” ujarnya.

Pengamat hukum tata negara, Irman Putra Siddin, mengamini pandangan Sudding. Menurutnya, persoalan mendasar gesekan antar lembaga penegakaan hukum lantaran tidak adanya kepastian dan jaminan hukum terhadap penegakan hukum bagi institusi penegak hukum. Makanya, lembaga penegak hukum bergerak berdasarkan subyektif masing-masing.

“Kalau penegakan hukum bersandar dengan niat baiknya masing-masing tanpa ada kepastian sistem, maka akan sewenang-wenang dengan niat baiknya. Makanya dicari-cari bukti, akhirnya terjadi kegaduhan, sehingga terjadi cari-cari kesalahan,” ujarnya.

Ia berpandangan dalam UUD 1945, kepolisian memiliki kewenangan ekslusif melakukan koordinasi dengan lembaga lain. Belakangan karena alasan politis dan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga kepolisian dan kejaksaan, dibentuklah KPK. Sebagai lembaga independen, KPK memiliki power lebih dibanding kepolisian dan kejaksaan.

“Seolah lembaga ini tidak tunduk,” katanya.

Dalam sistem ketatanegaraan, Irman menilai perlunya dipikirkan kembali pembentukan lembaga independen. Ia berpandangan perlunya ditata kembali rumpun sistem ketatanegaran secara nasional. Ia meminta DPR melakukan rekonstruksi terhadap sejumlah regulasi lembaga penegakan hukum. 

“Kalau terlalu independen maka ketika gagal melaksanakan tugasnya, siapa yang bertanggungjawab dengan pemberantasan korupsi ini. Kalau sistemnya seperti ini, maka bisa idenya satu atap bisa pas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait