Sebelum 1 Juli 2015, Kontrak Masih Bisa Gunakan Valas
Kewajiban Penggunaan Rupiah

Sebelum 1 Juli 2015, Kontrak Masih Bisa Gunakan Valas

Bila dalam perjalanan terdapat amandemen terhadap perjanjian tertulis yang sifatnya mengubah subyek dan atau obyek perjanjian dan terjadi setelah tanggal 1 Juli 2015, maka wajib menggunakan rupiah.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Diskusi Hukumonline dengan tema Pendekatan Hukum dan Bisnis Atas Implementasi PBI Kewajiban Penggunaan Rupiah, di Jakarta, Kamis (28/5). Foto: RES
Diskusi Hukumonline dengan tema Pendekatan Hukum dan Bisnis Atas Implementasi PBI Kewajiban Penggunaan Rupiah, di Jakarta, Kamis (28/5). Foto: RES
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu yang diatur dalam PBI adalah mengenai perjanjian tertulis yang pembayarannya menggunakan valuta asing (valas).

Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI, Hernowo Koentoadji, mengatakan kontrak yang lahir sebelum 1 Juli 2015 dan menggunakan valas tidak diwajibkan menggunakan rupiah. Menurutnya, hal ini berlaku untuk perjanjian tertulis yang kontraknya bersifat jangka panjang, bahkan hingga puluhan tahun ke depan.

“Kami tetap menghargai perjanjian yang dibuat sebelum 1 Juli yang sifatnya jangka panjang. Tetap berlaku sampai perjanjian habis,” kata Hernowo dalam diskusi yang digelar hukumonline di Jakarta, Kamis (28/5).

Namun, lanjut Hernowo, jika dalam perjalanannya terdapat amandemen terhadap perjanjian tertulis itu yang sifatnya mengubah subyek dan atau obyek perjanjian dan terjadi setelah tanggal 1 Juli 2015, maka wajib menggunakan rupiah. Ia mengatakan, hal ini bertujuan untuk mengantisipasi perjanjian yang tidak mengatur secara jelas mengenai apa yang diperjanjikan.

“Misalnya, jumlah dan tempat tidak disebutkan dalam perjanjian, tapi diatur pembayaran dengan valas. Nanti dibuat resmi, itu yang tidak bisa,” kata Hernowo.

Meski begitu, lanjut Hernowo, BI juga membuka peluang untuk pelaku usaha yang merasa belum bisa menerapkan kewajiban penggunaan Rupiah terkait transaksi non tunai ini. Hal ini tercantum dalam Pasal 16 PBI. Menurutnya, terdapat empat aspek yang menjadi alasan BI untuk mempertimbangkan permasalahan ini.

Keempat aspek itu adalah kesiapan pelaku usaha, kontinuitas kegiatan usaha, kegiatan investasi dan atau pertumbuhan ekonomi nasional. Menurutnya, pengecualian ini sifatnya tidak berlaku terus menerus. BI akan mengeluarkan kebijakan ini bagi perusahaan tertentu dalam jangka waktu yang akan ditentukan oleh BI seusai dilakukan assesment terhadap pelaku usaha tersebut. Menurutnya, penerapan ketentuan ini bersifat soft landing, sehingga kegiatan pelaku usaha bisa berjalan dengan baik.

“Akan diberi persetujuan misalnya setengah tahun dapat gunakan valas. Setelah jangka waktu selesai wajib gunakan Rupiah,” ujarnya.

Deputi Direktur Departemen Hukum BI, Bambang Sukardiputra, menambahkan mengenai perubahan perjanjian tersebut akan dijelaskan lebih rinci dalam Surat Edaran (SE) yang tengah digodok BI. Menurutnya, ketentuan ini diperlukan untuk mengantisipasi bukan hanya berkaitan dengan perubahan harga, tapi juga perubahan kuantitas barang yang diperjanjikan.

“Kalau nanti ada perubahan seperti apa yang harus tunduk kepada BI, ini masih di ketentuan teknis yang akan dikeluarkan,” kata Bambang.

Kasubdit Perencanaan dan Pengendalian Kas, Direktorat Pengelolaan Kas Negara Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Wibawa Pram, mengatakan setiap aturan yang dikeluarkan regulator pasti ada plus minusnya. Begitu juga terkait dengan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dari tahun 2011 hingga sekarang masih ada pihak yang secara terang benderang keberatan terhadap ketentuan tersebut.

“Namanya UU, suka tidak suka, mau tidak mau harus dilaksanakan,” tutur Pram.

Meski begitu, lanjut Pram, penerapan UU Mata Uang maupun PBI bersifat soft landing. Tujuannya, agar iklim investasi di Indonesia tetap terjaga. Untuk sosialisasi UU ini, Kemenkeu telah melakukan kerja sama dengan sejumlah pihak. Bukan hanya itu, Kemenkeu juga melakukan review terkait aturan yang dikeluarkan pemerintah yang masih membolehkan menggunakan valas.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengatakan aturan sudah dibuat sehingga wajib dipatuhi. Meski begitu, ia mengkritisi ketentuan baik yang ada di UU Mata Uang maupun PBI. Menurutnya, sanksi yang terdapat di kedua aturan tersebut sangat berat. Maka dari itu, penegakan hukum terkait ketentuan tersebut jangan diskriminatif.

“Kasus di Batam, kasihan bendahara (kasir) yang kena,” katanya.

Berkaitan dengan perjanjian tertulis, pelaku industri wajib bisa meyakinkan kepada mitra kerjanya bahwa kewajiban penggunaan Rupiah merupakan ketentuan yang harus ditaati. Hikmahanto mengatakan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) 1337 menyatakan bahwa perjanjian dilarang jika bertentang dengan hukum yang berlaku.

Terkait hal ini pernah ada presedennya. Di PN Jakarta Selatan, ada kasus mengenai pinjam meminjam. Pinjaman tersebut dalam bentuk dolar. Namun, kontraknya tidak dibuat dalam bahasa Indonesia.

Akhirnya, salah satu pihak melalui pengacaranya menyasar bahwa perjanjian ini masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum, yakni UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam setiap perjanjian di Indonesia. Akhirnya, pihak tersebut di PN menang, di pengadilan tinggi juga menang.

“Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum. Bilang saja, ini hukum yang berlaku di Indonesia, jika dilawan, saya bisa kena, anda juga bisa kena,” tutup Hikmahanto.
Tags:

Berita Terkait