Sudah Saatnya UU Arbitrase Diamandemen
Berita

Sudah Saatnya UU Arbitrase Diamandemen

Agar mengatur kewenangan majelis menentukan yurisdiksi dan memuat ketentuan mengenai arbitrase darurat.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Frans Hendra Winarta. Foto: Sgp
Frans Hendra Winarta. Foto: Sgp
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, kini dihadapkan pada tantangan untuk dapat memfasilitasi tuntutan pelaku usaha. Salah satu tututan yang penting ditindaklanjuti mengenai metode penyelesaian sengketa yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, UU Arbitrase harus mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Hal ini disampaikan Ketua Komisi Arbitrase Indonesia International Chamber of Commerce (ICC), Frans Hendra Winarta, dalam sebuah workshop di Jakarta, Kamis (4/6). Frans menilai perlu ada amandemen terhadap UU Arbitrase agar lebih maksimal dalam mengakomodasi kepentingan pelaku usaha. Pasalnya, harus ada penyelarasan ketentuan dalam UU Arbitrase dengan peraturan dari institusi-institusi arbitrase internasional.

“UU Arbitrase kita pelu member kewenangan kepada arbiter untuk menentukan sendiri yurisdiksi yang dimilikinya,” tutur Frans.

Frans mengakui UU Arbitrase memang menyatakan dengan tegas bahwa pengadilan negeri tidak berwenang atas sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal itu secara eksplisit diatur dalam Pasal 3 UU Arbitrase. Selain itu, dalam Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase secara jelas menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak boleh campur tangan dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.

Sayangnya, Frans menilai UU Arbitrase tidak secara khusus mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki oleh majelis untuk menentukan yurisdiksinya sendiri. Kekosongan hukum mengenai hal itu mengakibatkan banyak pihak dapat mengajukan keberatan atas kompetensi dari majelis ke pengadilan.

Frans melihat hal itu bisa menjadi penghambat proses pemeriksaan arbitrase. Kendati demikian, ia mengatakan sebenarnya berdasarkan peraturan dari institusi arbitrase seperti ICC Rules, BANI Rules atau SIAC Rules, majelis arbitrase adalah pihak yang berwenang untuk menentukan yurisdiksinya sendiri.

“Maka, sekali lagi UU Arbitrase sudah saatnya diamandemen,” tegasnya.

Selain itu, ia bependapat UU Arbitrase harus bisa memberikan solusi cepat dalam keadaan darurat. Dengan demikian, ia menekankan pentingnya aturan mengenai arbiter darurat atau emergency arbitrator provision. Ia mengingatkan, mekanisme tersebut diperlukan untuk mengakomodasi kepentingan pihak yang membutuhkan keputusan yang sangat mendesak dan tidak dapat menunggu majelis arbitrase (tribunal) terbentuk.

Sebagaimana diketahui, proses arbitrase darurat dibentuk atas adanya permohonan. Arbiter darurat harus memberikan putusan sela dalam kurun waktu lima belas hari sejak permohonan tersebut diterima. Dengan cara ini, menurut Frans, kepentingan yang mendesak dari para pihak dapat terlindungi.

“Esensi proses arbitrase darurat adalah melindungi kepentingan yang mendesak sehingga kalau sampai itu tertunda sama saja dengan ketidakadilan, sebab justice delayed is justice denied,” tandasnya.

Lebih lanjut, Frans mengatakan ICC Rules mengatur bahwa putusan yang diberikan oleh arbiter darurat adalah sebuah bentuk perintah. Semetara itu, UU Arbitrase tidak mengakui adanya perintah sebagai putusan bersifat final dan mengikat. Terlebih lagi, jika perintah itu diberikan oleh arbiter darurat di luar wilayah hukum Indonesia.

“Akibatnya, pelaksanaan perintah itu mengalami hambatan pelaksanaan,” keluhnya.
Tags:

Berita Terkait