Ikatan Bankir Indonesia Beri Sembilan Masukan untuk RUU Perbankan
Berita

Ikatan Bankir Indonesia Beri Sembilan Masukan untuk RUU Perbankan

Asosiasi Emiten Indonesia berharap RUU Pebankan tidak tumpang tindih dengan UU yang ada sebelumnya.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Logo IBI. Foto: http://ikatanbankir.com
Logo IBI. Foto: http://ikatanbankir.com
Komisi XI DPR mengundang sejumlah asosiasi untuk memberikan masukan terkait RUU Perbankan. Menurut Wakil Ketua Komisi XI, Jon Erizal, dengan adanya masukan dari asosiasi, membuat Panja RUU Perbankan lebih siap dan detail dalam menyusun RUU Perbankan untuk kemudian dibahas bersama pemerintah sebelum disetujui menjadi undang-undang.

Erizal mengatakan, saat ini proses RUU Perbankan masih dalam tahap mengharmonisasikan antara peraturan yang sudah ada sebelumnya dengan yang baru dimasukan ke dalam RUU. Dia berharap, RUU Perbankan yang telah dibahas dan disepakati bersama tidak direvisi kembali.

"Semoga nanti akan bermanfaat untuk semuanya bukan untuk DPR tetapi untuk semuanya," kata Erizal, Kamis (11/6).

Adapun pihak-pihak yang diminta masukannya antara lain Ikatan Bankir Indonesia (IBI), Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Koalisi Responsi Bank Indonesia (KRBI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI), dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).

Dalam pemaparannya, Ikatan Bankir Indonesia (IBI) memberikan sembilan usulan untuk masuk dalam RUU Perbankan. Pertama, mengenai prinsip resiprokal. Ketua Umum IBI,  Zulkifli Zaini, mengatakan dalam menjalankan tata hubungan perbankan internasional harus memperhatikan prinsip resiprokal guna mendukung tujuan perbankan.

Kedua, mengenai bentuk hukum kantor bank asing yang berada di Indonesia. Menurutnya, bagi perbankan asing yang berkantor pusat di luar Indonesia harus berbadan hukum Indonesia (PT). Zulkifli mengatakan, guna menjaga stabilitas kegiatan pebankan dan minat investor dalam pengelolaan perbankan, tentunya dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Sebagaimana diketahui, saat ini terdapat dua peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/26/PBI/2012 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti dan PBI No.15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Modal Bagi Bank Umum. Menurut Zulkifli, kedua peraturan BI tersebut tidak membedakan antara bank asing dengan bank lokal sehingga perlu dibedakan.

Ketiga, mengenai izin pembukaan kantor bank dan kantor cabang bank itu sendiri. "Dapat diberikan secara berjenjang (mulitple license), izin untuk bank yang beroperasi di Indonesia atas dasar modal atau ekuitas," tambahnya.

Keempat, mengenai pembatasan kepemilikan saham bagi pihak asing. Dia menyebutkan, batas kepemilikan saham Bank Umum bagi setiap warga negara asing paling banyak 40 persen, sisanya 60 persen wajib dimiliki lokal.

Kelima, mengenai penghapusan pasal-pasal yang terdapat pada RUU Perbankan, seperti menghapus Pasal 43 mengenai penanggung jawab pengelolaan bank, dan Pasal 58 mengenai direktur kepatuhan. Keenam, mengenai uji kemampuan dan kepatuhan direksi dan komisaris.

Ketujuh, mengenai kepegawaian bagi bankir lokal dan juga bankir asing. Menurut Zulkifli, para bankir harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bisanya masing-masing. Kedelapan, mengenai batas waktu penyesuaian bagi pihak asing. Soal batas waktu ini, bagi bank yang berkantor pusat di luar negeri, tetapi melakukan kegiatan usahanya di Indonesia dan memiliki saham bank umum lebih dari 40 persen diperpendek menjadi lima tahun dari yang sebelumnya 10 tahun.

Terakhir, mengenai sanksi administrasi dan ketentuan pidana. Zulkifli mengatakan pihaknya meminta agar sanksi mengacu kepada UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998.

Sementara itu, Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) meminta, agar RUU Perbankan dirancang dengan baik agar tidak tumpang tindih dengan UU sektor keuangan lainnya. Untuk itu, DPR harus dapat memastikan betul mengenai harmonisasi UU Perbankan dengan UU lainnya.

"Khusus mengenai RUU Perbankan nantinya ada beberapa hal yang ingin disampaikan, agar ada harmonisasi," kata Ketua Umum AEI, Franciscus Welirang.

Dia mengingatkan agar RUU Perbankan yang masih dalam tahap pembahasan harus harmonisasi dengan UU Bank Indonesia (BI), UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU Pasar Modal. Menurutnya, banyak anggota AEI yang telah mengalami kerugian lantaran masih tumpang tindihnya UU di Indonesia.

"Harmonisasi itu penting agar tidak terjadi tumpang tindih antara UU yang satu dengan UU yang lain," ujarnya.
Tags:

Berita Terkait