Komnas HAM Kritik Penegakan Hukum Kasus Kebebasan Beragama
Berita

Komnas HAM Kritik Penegakan Hukum Kasus Kebebasan Beragama

Proses perizinan mendirikan rumah ibadah kerap jadi alasan melakukan aksi kekerasan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: Hol/Sgp
Gedung Komnas HAM. Foto: Hol/Sgp
Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, mengatakan penegakan hukum dalam kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia masih diskriminatif. Itu terlihat dari tindakan aparat di lapangan dalam menangani kasus KBB. Pernyataan senada pernah disampaikan Setara Institute.

Proses perizinan rumah ibadah mengalami kendala, sebuah rumah ibadah ditutup dengan alasan tidak mengantongi izin. Seperti dialami masjid Al Hidayah milik jemaat Ahmadiyah di Depok, penyegelan 19 gereja di Aceh Singkil dan pembangunan mushola As-Syafi’iyah di Denpasar, Bali.

Biasanya, dikatakan Imdadun, kasus itu terjadi terkait proses perizinan pembangunan rumah ibadah yang belum selesai. Atau ada peraturan daerah setempat yang menyulitkan umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah. Dengan alasan belum mengantongi izin, seringkali kelompok intoleransi melakukan tindakan sepihak atas rumah ibadah yang bersangkutan seperti penutupan atau penyegelan. Langkah serupa juga dilakukan aparat berwenang untuk menutup rumah ibadah tersebut.

Menurut Imdadun tindakan seperti itu harusnya tidak terjadi. Sebab, mengacu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan 8 Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah sekalipun rumah ibadah belum mengantongi izin karena belum dapat memenuhi persyaratan yang ada maka pemerintah harus menerbitkan izin sementara.

Sayangnya, amanat dalam regulasi itu tidak dipahami secara benar, sehingga yang dilakukan malah sebaliknya yakni pemda setempat menutup rumah ibadah itu karena tidak mengantongi izin. “Peraturan itu tidak dipahami dengan benar sehingga berujung pada penegakan hukum yang diskriminatif,” kata Imdadun dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM di Jakarta, Jumat (3/6).

Imdadun mengatakan jika penegakan hukum itu mau dilakukan terhadap seluruh rumah ibadah yang ada di Indonesia, maka akan banyak yang ditutup karena tidak mengantongi izin. Ia mencatat sebagian besar rumah ibadah di Indonesia belum mengantongi izin. “Kami sepakat aturan hukum harus ditegakan, tapi pendekatannya harus benar dan tidak diskriminatif. Penegakan hukum itukan bisa menggunakan pendekatan restorative justice,” ucapnya.

Imdadun melihat tidak jarang proses perizinan untuk mendirikan rumah ibadah terkendala karena berbagai hal. Salah satunya yakni ada tekanan dari kelompok intoleransi sehingga izin tidak diterbitkan. Atau ada juga pemerintah daerah yang memberlakukan syarat-syarat yang sulit dipenuhi dalam rangka mendirikan rumah ibadah. Seperti pemerintah daerah Aceh Singkil menerapkan peraturan yang menyulitkan kelompok minoritas mendirikan rumah ibadah. Akibatnya, 19 gereja disegel dengan alasan tidak mengantongi izin.

Koordinator desk KBB Komnas HAM, Jayadi Damanik, menjelaskan Komnas HAM tidak mampu menangani seluruh kasus KBB yang dilaporkan masyarakat. Sebab, sumber daya yang dimiliki Komnas HAM sangat terbatas. Sehingga, ada sebagian kasus KBB yang belum ditangani Komnas HAM seperti penyegelan gereja di Pekalongan dan pelarangan menggunakan jilbab di Bali.

Sebagian kasus yang ditangani Komnas HAM diantaranya penyegelan masjid Ahmadiyah di Depok dan Bukit Duri Jakarta Selatan. Kemudian, penghentian pembangunan masjid Nur Mushafir di Kupang dan penutupan mushola As-Syafi’iyah di Bali. Komnas HAM juga menangani kasus tudingan penyesatan terhadap Tengku Ayyub di Bireun (Aceh), Dayah Al Mujahadah (Aceh Selatan), Aji Saka (Tangerang) dan kriminalisasi warga Syiah (Bogor). “Karena terbatas sumber daya, banyak kasus KBB yang belum kami tangani,” pungkas Jayadi.
Tags:

Berita Terkait