Pasal Penghinaan Presiden Tak Mungkin Dihidupkan Lagi dalam RKUHP
Berita

Pasal Penghinaan Presiden Tak Mungkin Dihidupkan Lagi dalam RKUHP

Pasal pidana penghinaan presiden jelas disebutkan MK sebagai salah satu warisan dari kolonialisme.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin. Foto: SGP
Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin. Foto: SGP
Usulan pemerintah memasukan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Kitab Hukum Pidana (RKUHP) menjadi sorotan. Tak saja melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah mesti menghormati negara hukum.

“Tidak bisa, karena negara hukum. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Apa yang diputuskan tidak mungkin itu (pasal penghinaan terhadap presiden, red) dihidupkan kembali,” ujar Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin di Gedung DPR, Senin (3/8).

Aziz mengakui ada beberapa pasal yang dimunculkan kembali sejak adanya putusan MK terkait pasal penghinaan presiden. Namun, sejauh ini belum ada pembahasan substansi antara pemerintah dengan DPR. Menurutnya, berdasarkan asas hukum yang berlaku, sesuatu yang sudah dibatakan MK tak dapat lagi dibahas atau dihidupkan kembali. Tapi yang pasti, Aziz menyerahkan sepenuhnya pada Panitia Kerja (Panja) RKUHP dengan melakukan inventarisir masalah terlebih dahulu.

Poliitisi Partai Golkar itu lebih jauh berpandangan, Panja sejatinya tidak ingin membahas pasal yang sudah dibatalkan MK. Secara logika hukum, Panja tidak mungkin melakukan pembahasan pasal tersebut sekalipun pemerintahkekeuh menghidupkan kembali. Sebab pertimbangan hukum dalam amar putusan MK terlihat gamblang.

“Dalam hal tertentu untuk menjaga kebebasan dalam mengungkapkan pikiran karena berhimpit pada kebebasan pendapat dari UUD,” ujarnya.

Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, pemerintah memasukan pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam RKUHP. Namun, usulan pemerintah tersebut masih bersifat rancangan. Dengan begitu, nantinya dimungkinkan bakal terjadi perdebatan. Bukan tidak mungkin usulan pemerintah tersebut menuai penolakan.

“Belum tentu diterima oleh DPR seperti apa adanya,” ujarnya.

Dikatakan Arsul, dalam pembahasan pasal yang memiliki sensitifitas publi yang tinggi, DR bakal mendengarkan pendapat dari berbagai pihak. Mulai ahli dan akademisi, pratisi hukum, maupun kalangan masyarakat sipil yang memiliki concern terhadap pasal tersebut. Arsul berpandangan pasal tersebut bukan menjadi titipan Jokowi maupun Jusuf Kalla sebagai pucuk pimpinan pemerintahan dan negara.

“Karena sebelum pemerintahan yang sekarang, ide adanya pasal itu juga sudah tertuang,” katanya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu lebih jauh berpandangan, fraksinya akan melakukan kajian mendalam atas putusan MK yang mencabut pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam KUHP. Langkah itu dinilai tepat sebelum menentukan sikap menerima atau menolak usulan pemerintah tersebut dengan modifikasi unsur pidananya.

Selain itu juga untuk dapat memastikan agar pasal tersebut tidak menjadi pasal karet yang dipergunakan untuk membungkam kritik terhadap presiden dan pemerintahan. “PPP sendiri masih mengkaji secara internal dan meminta pendapat dari teman-teman aliansi reformasi KUHP,” ujarnya.

Anggota Aliansi Reformasi KUHP, Supriyadi W Eddyono menilai pemerintah tidak konsisten menerapkan kebijakan kriminalisasi  dalam tindak pidana penghinaan di RKUHP. Ia menilai alasan pemerintah tidak dapat diterima. Pasalnya argumentasi pemerintah kepala negara asing dilindungi di dalam negeri, sementara kepala negara sendiri tidak.

Menurutnya rezim hukum penghinaan di dalam negeri belum dapat membedakan rana kritik dan penghinaan. Padahal presiden maupun pejabat publik wajib dikritik dalam rangka perbaikan pemberian pelayanan terhadap masyarakat luas.

“Lagi pula sudah terlalu banyak pasal penghinaan di Indonesia, buat apa menambah tindak pidana penghinaan lagi,” ujarnya.

Lebih jauh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)  berpandangan aliansi RKUHP bakal menolak keras usulan pemerintah tersebut. Menurutnya pemerintah melalui tim perumus RKUHP mengesampingkan putusan MK yang membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden.

“Intinya kita tolak keras. Ini berarti tim perumus RKUHP mbalelo atas putusan MK. Kita siap kawal dan uji lagi pasal ini jika masih dihidupkan lagi sama pemerintah,” ujarnya.

Anggota Aliansi Reformasi KUHP lainnya, Wahyudi Djafar menambahkan masuknya pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam RKUHP. Ia berpandangan mestinya RKUHP secara jeli menerjamahkan dan mengimplementasikan mandat dalam putusan MK  terkait dengan pembaharuan hukum pidana.

“Bukan justru membangkangnya. Apalagi semangat pembaharuan KUHP adalah pembentukan KUHP nasional, keluar dari belenggu kolonial. Pasal pidana penghinaan presiden jelas disebutkan MK sebagai salah satu warisan dari kolonialisme,” pungkas program officer monitoring kebijakan dan pengembangan jaringan advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)itu.
Tags:

Berita Terkait