Kewajiban Lapor untuk Lindungi Profesi Gatekeeper
Utama

Kewajiban Lapor untuk Lindungi Profesi Gatekeeper

Advokat melihat kewajiban itu tidak proporsional. Bahkan ada advokat yang mempersoalkannya ke Mahkamah Agung.

Oleh:
TRI YUANITA INDRIANI/M. YASIN
Bacaan 2 Menit
Suasana sosialisasi PP No. 43 Tahun 2015 kepada advokat, akuntan, notaris, dan PPAT di Jakarta 6 Agustus lalu. Foto. RES
Suasana sosialisasi PP No. 43 Tahun 2015 kepada advokat, akuntan, notaris, dan PPAT di Jakarta 6 Agustus lalu. Foto. RES
Kewajiban melaporkan dugaan tindak pidana pencucian uang bagi sejumlah profesi di bidang keuangan dan hukum sebenarnya bertujuan untuk melindungi para pengemban profesi itu. Jangan sampai profesi tertentu tercemar karena ulah segelintir orang tak bertanggung jawab.

“Sebetulnya, niatnya untuk melindungi profesi itu supaya tidak dijadikan sarana kejahatan. Profesi mulia tidak disalahgunakan,” kata Agus Santoso, Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Penjelasan Agus berkaitan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PP Pihak Pelapor TPPU). PP ini mewajibkan mereka yang biasa disebut gatekeeper propessional untuk melapor ke PPATK jika mengetahui terjadinya tindak pidana pencucian uang.

Gatekeeper adalah istilah yang lazim dipakai dunia internasional untuk menyebut professional di bidang keuangan dan hukum dengan keahlian, pengetahuan, dan akses khusus kepada sistem keuangan global, yang memanfaatkan keahlian mereka untuk menyembunyikan hasil tindak pidana. Profesi dimaksud meliputi antara lain advokat, akuntan dan akuntan publik, notaris dan PPAT, dan perencana keuangan.

Profesi-profesi inilah yang kemudian masuk ke dalam kualifikasi Pihak Pelapor menurut PP No. 43 Tahun 2015. Selain penyedia jasa keuangan dan penyedia barang/jasa lainnya, PP mengharuskan advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan publik, akuntan, dan perencana keuangan ‘menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa’ (know your customer principle).

Menurut Agus Santoso, berdasarkan kajian PPATK selama ini atas tipologi kejahatan pencucian uang, profesi gatekeeper dimaksud berpotensi disalahgunakan. Profesi advokat, misalnya. Penyandang profesi ini bisa terlibat aktif menyembunyikan terjadinya tindak pidana pencucian uang, atau menyembunyikan hasil TPPU dari jangkauan aparat penegak hukum. Padahal, profesi advokat adalah profesi penegak hukum yang bersifat officium nobile. Advokat tidak seharusnya berlindung di balik kerahasiaan klien untuk menutupi kejahatan. “Oleh karena itu, kami minta kesadaran. Kita membangun bersama (penegakan hukum),” ujar Agus di sela-sela sosialisasi PP No. 43 Tahun 2015 kepada para pemangku kepentingan (06/8).

Penegasan Agus juga disebutkan dalam Penjelasan Umum PP No. 43 Tahun 2015. Profesi gatekeeper, ‘rentan dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan cara berlindung di balik ketentuan kerahasiaan hubungan profesi dengan Pengguna Jasa’.

Agus mengingatkan jika sudah tahu ada tindak pidana lalu tidak melapor, ada pasal pidana yang siap mengancam. “Nanti kalau ada orang tertangkap melakukan kejahatan TPPU, kemudian setelah ditelusuri ada upaya perlindungan dari pengemban profesi, maka penyandang profesi itu bisa dikenakan pasal iut serta membantu,” tegas Agus.

Itu juga sebabnya, kata Agus, aturan kewajiban lapor bagi profesi gatekeeper sebenarnya bermaksud menjadikan profesi tersebut terlindungi. Agar tak berbenturan dengan kewajiban menjaga kerahasiaan hubungan profesi advokat dengan klien, PP No. 43 memberikan pengecualian.

Toh, penegasan Agus tak sepenuhnya meyakinkan kalangan advokat. Advokat senior Juniver Girsang menilai kewajiban lapor pencucian uang bagi advokat tidak proporsional.  Menurut Juniver, tanpa PP itu dibuat sebenarnya advokat sudah terikat pada ketentuan, bahwa jika mengetahui suatu kejahatan tertentu dia harus melapor ke aparat yang berwajib. Ia memandang PP 43 hanya sekadar penegasan kewajiban itu. “Tidak ada yang signifikan bagi advokat sebetulnya,” kata Juniver kepada hukumonline, Senin (10/8).

Juniver juga melihat PP itu tidak proporsional bagi advokat lantaran ada siapapun dan profesi apapun, harus lapor ‘jika mengetahui’ suatu kejahatan. Sebaliknya kalau tidak ada dugaan tindak pidana, lantas advokat diwajibkan lapor, itu yang disebut Juniver tidak proporsional. “Itu sama saja kita membocorkan rahasia klien,” tegasnya.

Advokat senior lainnya, Denny Kailimang, advokat tak perlu takut dipidanakan gara-gara kewajiban lapor dalam PP 43. Sepanjang advokat bekerja sesuai koridor, mematuhi kode etik dan hukum, ancaman pidana itu tak akan terjadi. “Sepanjang semuanya dikerjakan sesuai rambu-rambu professional, advokat tidak perlu takut,” ujarnya.

Takut atau tidak, yang jelas tak semua penyandang profesi gatekeeper menerima kewajiban dalam PP 43 tersebut. Di media sosial, sudah ada advokat yang mempersoalkannya. Fakta lain, sudah ada advokat yang berusaha menggunakan upaya hukum Hak Uji Materiil (HUM) PP No. 43 Tahun 2015 atas UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat ke Mahkamah Agung.
Tags:

Berita Terkait