Pengusaha dan Advokat Paling Sering Pengaruhi Hakim
Utama

Pengusaha dan Advokat Paling Sering Pengaruhi Hakim

Ada delapan pihak yang disebut-sebut mempengaruhi independensi hakim dalam memutus perkara.

MYS
Bacaan 2 Menit
Suasana persidangan. Foto: RES (Ilustrasi)
Suasana persidangan. Foto: RES (Ilustrasi)
Independensi kekuasaan kehakiman salah satu indikator negara hukum. Kalau hakim mau diinterveni, maka rusaklah sendi-sendi negara hukum. Namun sebuah hasil kajian yang dilaksanakan Indonesian Legal Roundtable menunjukkan intervensi belum sepenuhnya bebas dari ruang pengadilan. Peneliti ILR mengajukan pertanyaan kepada 108 orang akademisi, praktisi hukum, dan aktivis kemasyarakatan di 18 provinsi.

Pertanyaannya: siapa pihak yang paling sering mempengaruhi, menekan, atau mengintervensi hakim dalam memutus perkara sepanjang tahun 2014? Hasilnya, pengusaha dan advokat (pihak berperkara) menempati urutan teratas. Sebanyak 22,22 persen responden meyakini pengusaha sangat sering mengintervensi hakim, disusul 19,44 persen yang yakin pihak berperkara dan advokatnya paling sering intervensi.

Selain pengusaha dan pihak berperkara/advokat masih ada enam pihak lain yang disebut-sebut sangat sering mempengaruhi putusan hakim. Berturut-turut adalah pemerintah pusat/daerah (11,11%), pejabat pengadilan yang lebih tinggi (5,56%), anggota Dewan (5,56%), partai politik (5,56%), organisasi kemasyarakatan (2,78%) dan tokoh masyarakat.

“Pengusaha dan advokat/pihak yang berperkara merupakan pihak-pihak yang secara tradisional paling sering memengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan,” demikian hasil kajian ILR yang dilansir ke publik, 20 Agustus lalu.

Direktur Eksekutif ILR, Todung Mulya Lubis, saat itu mengatakan dalam persepsi masyarakat sudah lama terbangun bahwa advokat termasuk yang menyebabkan terjadinya mafia peradilan. Kasus penangkapan advokat senior OC Kaligis, misalnya, bukan peristiwa pertama advokat kesandung perkara penyuapan. “Saya ikut sedih,” ujarnya.

Dugaan adanya intervensi terhadap hakim dalam memutus perkara antara lain dapat dilihat dari penangkapan tiga orang hakim dan seorang panitera PTUN Medan. Ketiga hakim menerima suap melalui perantaraan pengacara. Uang suap diperoleh dari istri gubernur. Dalam kasus ini KPK telah menetapkan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan isterinya Evy Susanti; pengacara senior OC Kaligis dan anak buahnya M. Yagari Bhastara Guntur; tiga hakim PTUN Tripeni Irianto Putro, Dermawan Ginting, dan Amir Fauzi, serta panitera PTUN Syamsir Yusfan, sebagai tersangka. Rangkaian suap ini berhubungan dengan putusan hakim PTUN yang menyatakan surat yang dikeluarkan kejaksaan tidak sah.

Kasus-kasus semacam ini, kata Todung, membuktikan intervensi oleh pihak berperkara itu benar adanya. “Intervensi terhadap hakim itu konkrit, bukan omong kosong,” ujarnya.

Di tempat yang sama, hakim agung Syamsul Maarif, mempertanyakan indikator yang dipakai untuk mengukur intervensi. Sebab, jika yang dipakai ILR adalah persepsi, maka persepsi itu subjektif. Apalagi kalau hanya persepsi 105-108 orang ‘ahli’.

Independensi hakim, kata Syamsul, ikut dipengaruhi oleh pengawasan. Independensi yang bagus akan mendorong independensi yang baik. Tetapi kalau pengawasan tidak dilakukan dengan baik, pengawasan itu justru bisa menghancurkan independensi. “Pengawasan harus terukur, karena kalau sebaliknya, bisa mengancam independensi hakim,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait