Fungsi Ini Wajib Diketahui Calon Hakim Konstitusi
Konferensi HTN II:

Fungsi Ini Wajib Diketahui Calon Hakim Konstitusi

Mekanisme seleksi yang dilaksanakan Panitia Seleksi (Pansel) khususnya yang dilakukan DPR dan Presiden tetap dipertahankan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
I Dewa Gede Palguna. Foto: SGP
I Dewa Gede Palguna. Foto: SGP
Syarat integritas dan kapasitas (kualitas) bagi calon hakim konstitusi merupakan syarat terpenting. Namun, persyaratan kualitas ini mesti disesuaikan dengan tugas utama Mahkamah Konstitusi (MK). Utamanya, ketika MK mengemban fungsinya sebagai constitutional review dan penjaga kontitusi negara.

Pandangan itu disampaikan Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna saat berbicara dalam sesi diskusi di acara Konferensi Hukum Tata Negara Kedua bertajuk “Menata Proses Seleksi Pimpinan Lembaga Negara” yang diselenggarakan PUSaKO di Convention Hall Universitas Andalas, Padang, Jum'at (11/9).

Palguna menegaskan, yang terpenting bagaimana merancang sosok seperti apa seorang calon hakim konstitusi yang ideal. Baginya, ada dua prasyarat terpenting yang harus dimiliki calon hakim konstitusi yakni integritas dan kapasitas terutama ketika menjalankan fungsi constitutional review.

“Kualitas pertama yang harus dimiliki calon hakim konstitusi memahami fungsi constitutional review ini,” kata dia.    

Dalam hal kapasitas, kata Palguna, ada beberapa hal yang juga harus diketahui dan miliki seorang calon hakim konstitusi. Pertama, mampu menyeimbangkan dan menjaga cabang-cabang kekuasaan lain (check and balances). “Ini agar antar kekuasaan negara tidak saling serobot kewenangan,” papar Palguna.  

Kedua, fungsi melindungi hak konstitusional warga negara dari kemungkinan pelanggaran yang dilakukan cabang-cabang kekuasaan negara. Sebab, hampir setiap saat seorang hakim konstitusi akan sering menerjemahkan konstitusi dengan beragam penafsiran.

“Dia (hakim konstitusi) harus sadar dirinya bakal dituntut setiap saat menafsirkan konstitusi,” lanjutnya.     

Ketiga, mampu memahami fungsi legislator dalam arti negatif (negative legislator) yang bakal siap mengkoreksi setiap produk Undang-Undang (UU) yang dipersoalkan. “Tentunya, kalau ingin menghapus UU harus memiliki pengetahuan tentang fungsi legislasi, tidak asal hapus,” katanya.       

“Jadi, fungsi constitusional reviewini harus melekat pada diri hakim konstitusi, melalui mekanisme seleksi bagaimanapun nantinya,” tegasnya.

Hal inilah yang membedakan kebutuhan kapasitas hakim konstitusi dengan seorang hakim/hakim agung. Sebab, umumnya tugas hakim lebih banyak menerapkan norma dalam Undang-Undang. “Di negara-negara yang menganut sistem civil law, hakim biasa dididik menerapkan norma UU, bukan menilai UU itu.”       

Dia juga merekomendasikan agar mekanisme seleksi yang dilaksanakan Panitia Seleksi (Pansel) khususnya yang dilakukan DPR dan Presiden tetap dipertahankan. Namun, keanggotaan Pansel harus diisi orang-orang terjamin integritasnya, dengan proses seleksi yang lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik secara luas.

“MA setidaknya bisa mengikuti (rekrutmen) pola yang sama,” harapnya.

Diubah
Sebelumnya, Mantan Ketua MK Jimly Assiddiqie mengusulkan agar sistem seleksi hakim konstitusi perlu diubah. Salah satu yang diusulkan mengubah periodeisasi lima tahunan jabatan hakim konstitusi. Hal ini untuk menghindari masa jabatan hakim konstitusi saat ini mengikuti siklus jabatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selain itu, dia mengusulkan agar syarat minimal calon hakim konstitusi berumur 60 hingga 70 tahun, sehingga tidak perlu perpanjangan masa jabatan lima tahun berikutnya. Dia beralasan ketika hakim konstitusi berusia minimal 60 tahun umumnya tidak haus kekuasaan dan uang.

“Usia segitu tidak lagi bercita-cita untuk jabatan lebih tinggi dan uang lebih banyak. Ini makna ‘negarawan’ yang menjadi syarat hakim konstitusi dalam konstitusi,” kata Jimly di acara yang sama, Kamis (10/9) kemarin

Terlebih, hingga kini aturan lebih lanjut yang mengenai mekanisme seleksi di tiga lembaga negara yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), dan Presiden belum ada. Hingga saat ini belum ada peraturan MA atau Perpres yang mengatur mekanisme seleksi hakim MK, satu-satunya ada Tata Tertib DPR. Padahal aturan itu amanat UU MK.

Makanya, tak jarang pengisian jabatan atau pencalonan hakim konstitusi oleh Presiden dan MA sering menimbulkan masalah karena tidak ada standar baku yang menjadi acuan proses seleksi agar bisa transparan, obyektif, partisipatif, dan akuntabel. “Sistem seleksi hakim konstitusi perlu ada standar, meski mekanismenya tidak harus sama,” sarannya.            
Tags:

Berita Terkait