Dua Guru Besar Unpad Jadi Ahli dalam Permohonan OCK
Berita

Dua Guru Besar Unpad Jadi Ahli dalam Permohonan OCK

Menilai pengangkatan penyelidik dan penyidik indepen di KPK keliru.

ASH
Bacaan 2 Menit
Dua Guru Besar Unpad Jadi Ahli dalam Permohonan OCK
Hukumonline
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita, berpendapat keberadaan penyelidik-penyidik atau jaksa independen pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini ditafsirkan keliru. Pemahaman ‘penyelidik-penyidik atau jaksa independen’ seharusnya ditafsirkan pada tugas dan kewenangan, bukan pada status dan cara pengangkatannya.

“Seharusnya penyelidik-penyidik polisi dan jaksa independen ditafsirkan sesuai bunyi Pasal 39 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK,” ujar Romli saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materi UU KPK di MK, Selasa (03/11). Pemohon pengujian ini adalah  OC Kaligis.

Pasal 39 ayat (3) UU KPK menyebut penyelidik, penyidik, dan penuntut umum diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK.

Romli menegaskan seharusnya penyelidik atau penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan yang sebelumnya diberhentikan sementara dari instansi asalnya agar bisa bekerja lebih independen dan tercipta loyalitas tunggal pada pimpinan KPK.

Saat pembahasan RUU KPK, Romli mengaku pernah mengusulkan agar ada penyelidik atau penyidik dan jaksa KPK yang bersifat independen (di luar Polri dan Kejaksaan). Namun, usulan ini ditolak kepolisian dan kejaksaan. Alasannya, bagaimana mau independen kalau penyelidik-penyidik tidak berpengalaman menyelidik atau menyidik. Kepolisian saja yang sudah berpengalaman menyidik mengaku tidak mudah melakukan penyidikan dan penyidikan.

“Memang kita pernah meminta adanya penyelidik-penyidik independen, tetapi kan usulan ini dibatalin  DPR waktu. kan sejarahnya begitu. Makanya, ada aturan koordinasi atau supervisi KPK yang diatur Pasal 6 UU KPK,” jelas akademisi yang pernah terlibat dalam proses pembentukan UU KPK ini.

Romli melanjutkan akhirnya diputuskan ada mekanisme pengambilalihan perkara korupsi yang ditangani kepolisian atau kejaksaan oleh KPK dengan syarat dan alasan tertentu. Persoalannya, penyelidik dan penyidik dari kepolisian dan kejaksaan di KPK menjadi hambatan psikologis untuk mengambilalih perkara korupsi.

“Waktu itu akhirnya kita mengusulkan agar penyidik dan penyelidik diberhentikan sementara agar tidak mempengaruhi independensi KPK,” tegas ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.

Dia menambahkan kalau ada pasal yang mengatur pimpinan KPK dapat mengangkat penyidik dan penyelidik tidak bisa diartikan independen. Kalau KPK mau mengangkat penyidik dan penyelidiknya di luar kepolisian dan kejaksaan, maka seharusnya pasal yang digugat berbunyi penyidik dan penyelidik yang diangkat “sendiri” oleh KPK.

“Karena itu, sesuai Pasal 45 UU KPK yang memberi ruang KPK mengangkat dan memberhentikan penyelidik atau penyidik sendiri di luar instansi Polri sesungguhnya tidak dapat dibenarkan,” dalihnya.  “Kalau mau independen, buktinya Novel Baswedan berani nangkap polisi meski dia polisi.”

Bermakna administratif
Guru Besar FH Unpad lain yang dijadikan ahli adalah I Dewa Gde Pantja Astawa. Dalam keterangannya di depan majelis MK, Astawa menilai status penyelidik-penyidik Polri atau Kejaksaan pada KPK bermakna administratif menyangkut hak keuangan selama menjadi pegawai KPK. Apabila penyelidik-penyidik itu ditarik kembali ke instansi asalnya, akan diberhentikan sebagai pegawai KPK dan kepolisian dan kejaksaan akan mengangkatnya kembali.

“Jadi, makna Pasal 45 ayat (1) UU KPK sepenuhnya bersifat administratif wujud keputusan KPK sebagai pejabat administrasi negara, bukan wujud kewenangan KPK mengangkat dan memberhentikan penyidik independen,” ujarnya.

Menurutnya, selama ini kewenangan KPK mengangkat dan memberhetikan penyelidik/penyidik independen multitafsir. Dia mencontohkan dua putusan praperadilan No. 18/Pid.Prap/2015/PN Jaksel yang dimohonkan Suroso Atmomartoyo dan putusan praperadilan No. 36/Pid.Prap/2015/PN Jaksel yang dimohonkan Hadi Poenomo yang saling bertentangan terkait keabsahan penyelidik/penyidik independen KPK.

Putusan praperadilan Suroso yang diputus Hakim F Riyadi menyatakan keberadaan penyelidik/penyidik independen KPK dianggap sah menurut hukum. Alasannya, sesuai Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 UU KPK, KPK berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelidik/penyidik independen. Sementara dalam putusan praperadilan Hadi Poernomo menyatakan sebaliknya. Haswandi mendasarkan pada Pasal 39 ayat (3) UU KPK.

“Tentunya, pemaknaan dua putusan ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut yang bisa merugikan pemohon. Ini menjadi kewenangan MK memutus persoalan ini dengan seadil-adilnya,” harapnya.

Melalui kuasa hukum, terdakwa penyuapan hakim PTUN Medan, OC Kaligis menggugat sejumlah Pasal 45 (1) dan Pasal 46 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Advokat senior itu merasa diperlakukan tidak adil atas tindakan projustitia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasal 45 ayat (1) UU KPK terkait status penyidik yang diangkat dan diberhentikan KPK dan Pasal 46 ayat (2) UU KPK terkait jaminan hak-hak tersangka dengan tidak mengurangi hak-haknya. Pasal-pasal itu dinilaoimultitafsir dalam penerapannya. Pasal 45 ayat (1) UU KPK sepanjang frasa ‘penyidik adalah penyidik pada KPK agar dimaknai pengertian penyidik yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP (penyidik Polri dan PPNS, --red).

Pasal 46 ayat (2) UU KPK, khususnya frasa “pemeriksaan tersangka” dimaknai ‘dilakukan dengan tidak mengurangi hak tersangka yang dijamin dalam KUHAP khususnya hak untuk mengajukan hak penangguhan penahanan’.
Tags:

Berita Terkait