Terkait Formula Upah Minimum, Buruh Tempuh Upaya Hukum
Utama

Terkait Formula Upah Minimum, Buruh Tempuh Upaya Hukum

Pekerja menginginkan Dewan Pengupahan tetap ada agar bisa dilibatkan dalam penentuan upah. Gunakan putusan MK tahun 2014 sebagai rujukan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pengacara pekerja mendaftarkan permohonan ke Kepaniteraan MK, Selasa (08/12). Foto: ASH
Pengacara pekerja mendaftarkan permohonan ke Kepaniteraan MK, Selasa (08/12). Foto: ASH

Sejak diterbitkan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan terus dipersoalkan kalangan pekerja alias buruh. Sebagai langkah terbaik protes itu, buruh diusulkan untuk memohon pengujian PP No. 78 ke Mahkamah Agung.

Rupanya, sebagian buruh memilih menempuh upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka lebih memilih meminta tafsir ke Mahkamah Konstitusi tentang formula penetapan upah yang diatur dalam Pasal 88 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kuasa hukum buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Tanpa Nama (Abu Tama) itu mendaftarkan permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan ke Kepaniteraan MK, Selasa (08/12). “Kami minta Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan ditafsirkan secara bersyarat, pemerintah menetapkan upah minimum dari akumulasi nilai KHL, nilai produktivitas, dan nilai pertumbuhan ekonomi berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan provinsi/kabupaten/kota,” ujar kuasa hukum pemohon, Iskandar Zulkarnain.

Iskandar menegaskan langkah hukum terpaksa ditempuh karena kebijakan baru pemerintah tidak berpihak kepada buruh. Formula pengupahan berubah. Unsur kebutuhan hidup layak (KHL) dan rekomendasi Dewan Pengupahan tidak lagi menjadi ukuran dalam penetapan upah minimum. PP Pengupahan 2015 ‘menghapuskan’ Dewan Pengupahan. Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) PP Pengupahan mengatur rumusan penghitungan besaran upah minimum adalah upah minimum tahun berjalan ditambah nilai inflasi dan nilai pertumbuhan ekonomi.

Padahal, Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan sudah menyebutkan “Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.”

Zulkarnain mengingatkan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan menyebutkan penetapan upah minimum dilakukan gubernur atas rekomendasi Dewan Pengupahan di wilayah provinsi, kabupaten/kota, atau sektor tertentu. Namun, sejak terbitnya PP Pengupahan seolah-olah keberadaan Dewan Pengupahan sudah tidak ada lagi. Padahal, pembentukan PP Pengupahan merujuk atau tidak boleh bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.

Dengan begitu, menurutnya segala proses penetapan upah minimum yang tidak melibatkan Dewan Pengupahan harus dianggap cacat hukum. “Makanya, pemohon yang terdiri dari 113 buruh dari sekitar 50 perusahaan di Jawa Barat dan Jawa Timur minta agar penetapan upah minimum kumulatif dari KHL, nilai produktivitas, dan nilai pertumbuhan ekonomi tetap berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan,” tegasnya.

Kuasa hukum lainnya, Muhammad Hafidz melanjutkan rumusan norma formulasi penetapan upah dalam PP Pengupahan menimbulkan beragam penafsiran. Akibatnya, pemerintah cenderung menafsirkan formula penetapan upah minimum secara subjektif. “Bukan ditafsirkan sesuai PP Pengupahan, dimana penetapan upah minimum, upah minimum berjalan, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” kata Hafidz.

Dia menambahkan lewat PP Pengupahan, peran Dewan Pengupahan yang terdiri dari unsur pengusaha, serikat buruh, pemerintah, perguruan tinggi, dan pakar dihilangkan. Padahal, dalam putusan MK No. 11/PUU-XII/2014 telah menjamin keberadaan dan peran Dewan Pengupahan. “Sesuai putusan MK itu, keterlibatan atau rekomendasi Dewan Pengupahan harus ada dalam setiap proses penetapan besaran upah minimum oleh gubernur,” katanya.

Berdasarkan sejumlah kasus yang sudah diputus Mahkamah Agung, pengajuan judicial review UU Ketenagakerjaan ini bisa ‘menutup peluang’ para pekerja mempersoalkan PP No. 87 ke Mahkamah Agung. Dalam kasus PP pungutan yang dimohonkan uji konsultan hukum pasar modal (HKHPM), Mahkamah Agung memutus NO (tidak dapat diterima) lantaran Undang-Undang yang menjadi payungnya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.
Tags:

Berita Terkait