Begini Formula Upah Minimum Versi Anggota DPR
Utama

Begini Formula Upah Minimum Versi Anggota DPR

Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS perlu masuk dalam penghitungan. Untuk mempertahankan daya beli buruh.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Rieke Diah Pitaloka (kanan). Foto: SGP
Rieke Diah Pitaloka (kanan). Foto: SGP
Formula penetapan upah minimum yang digunakan pemerintah dalam RPP Pengupahan menuai kritik bukan saja dari kaum buruh tapi juga anggota DPR. Formula yang digunakan pemerintah dalam RPP Pengupahan yakni Upah Minimum 2015+Upah Minimum 2015 x (Inflasi+PDB) dikritik antara lain oleh Rieke Diah Pitaloka

Anggota Komisi IX DPR itu menyebut formula yang disusun dalam RPP Pengupahan menunjukkan pemerintah masih menggunakan kebijakan politik upah murah. Sebab pemerintah tidak menghitung kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Menurutnya, melemahnya nilai tukar rupiah patut digunakan sebagai acuan dalam menghitung kenaikan upah minimum. Dengan begitu maka kenaikan upah minimum menghitung resiko keuangan dan pasar.

Politisi PDIP itu juga mengusulkan resiko kenaikan bunga bank ikut dihitung dalam penetapan kenaikan upah minimum. “Resiko pasar ditambah resiko keuangan itu ujungnya terkait dengan ketergantungan terhadap impor. Jika nilai tukar rupiah terhadap dollar AS lemah maka harga barang-barang impor akan tinggi,” kata Rieke dalam jumpa pers di gedung DPR/MPR, Selasa (20/10).

Menurut Rieke, banyak barang kebutuhan masyarakat yang diimpor baik untuk konsumsi rumah tangga dan bahan baku industri. Inflasi yang terjadi mengakibatkan daya beli buruh berkurang karena harga-harga barang naik. Karena itu, fluktuasi nilai tukar rupiah perlu masuk dalam komponen kenaikan upah minimum. Jadi, formula usulan Rieke adalah Upah Minimum 2015+Upah Minimum 2015 x (Inflasi+PDB+Presentase Turunnya Nilai Tukar Rupiah).

Rieke menilai jika RPP Pengupahan disahkan dan formula penghitungan kenaikan upah minimum versi pemerintah itu diterapkan maka survei kebutuhan hidup layak (KHL) akah hilang. Padahal, selama ini sebelum menetapkan upah minimum survei KHL dilakukan oleh dewan pengupahan daerah. Survei itu penting agar untuk mengetahui kebutuhan riil dan daya beli buruh akibat kebijakan ekonomi pemerintah.

Rieke melihat dalam menetapkan besaran inflasi dan PDB pemerintah akan menggunakan data BPS. Menurutnya, data BPS belum cukup baik dalam melihat kondisi riil di lapangan. “Ini berarti pemerintah mengandalkan data BPS dalam menentukan kenaikan upah minimum ke depan, bukan lagi lewat mekanisme tripartit (Dewan Pengupahan),” ujarnya.

Rieke mengingatkan di semua negara yang industrinya maju peran tripartit sangat penting. Sebab mekanisme itu merupakan bentuk dialog antara pemangku kepentingan di sektor perburuhan yakni pemerintah, buruh dan pengusaha. Namun lewat RPP Pengupahan peran tripartit, khsususnya dewan pengupahan akan dihapus dalam menentukan kenaikan upah minimum.

Sekjen FSPTSK, Indra Munaswar, berpendapat RPP Pengupahan melanggar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Misalnya tentang peran Dewan Pengupahan dalam memberikan pertimbangan kepada pemerintah untuk menetapkan upah minimum ditiadakan. RPP sudah langsung menyediakan formula kenaikan upah minimum.

Indra mengingatkan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengamanatkan upah minimum ditetapkan gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Dengan menghapus peran Dewan Pengupahan maka kebijakan itu tidak selaras dengan konvensi ILO No.144 tentang Tripartit.

Koordinator Forum Buruh DKI, Joko Wahyudi, menengarai jika formula penetapan upah minimum versi pemerintah dijalankan, upah minimum di Jakarta akan terus tertinggal dari Bekasi. Upah minimum DKI Jakarta 2015 sebesar Rp2,7 juta dan Bekasi Rp2,9 juta. “Kebutuhan hidup di Jakarta itu lebih mahal daripada Bekasi,” tukasnya.

Pembahasan RPP Pengupahan, menurut Joko, tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Joko menilai lebih baik pemerintah menyusun RUU Pengupahan agar pembahasannya melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk buruh.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, justru melihat ada ketentuan kontradiktif dalam RPP Pengupahan. Misalnya, pemerintah akan menetapkan kenaikan upah minimum lewat formula. Dengan begitu maka KHL dihapus karena kenaikan upah minimum dihitung berdasarkan formula yang ditetapkan pemerintah itu. Namun, ada juga ketentuan dalam RPP Pengupahan yang menyebut KHL ditinjau 5 tahun sekali. “Ketentuan itu membingungkan karena ujungnya penetapan upah menggunakan formula,” paparnya.

Timboel mengusulkan dalam menghitung kenaikan upah minimum mestinya yang jadi pertimbangan bukan PDB tapi PDRB yang merupakan pertumbuhan ekonomi per wilayah (regional). Itu perlu digunakan sebagai acuan karena pertumbuhan ekonomi di setiap daerah berbeda-beda, begitu juga dengan inflasi. Oleh karena itu besaran upah minimum harus berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang terjadi di masing-masing daerah, tidak bisa dipukul rata secara nasional.

Timboel juga mengkritik ketentuan RPP Pengupahan yang membolehkan tenaga kerja asing (TKA) dibayar dengan mata uang asing. Mestinya, pemerintah konsisten menjalankan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mengamanatkan seluruh transaksi di Indonesia harus menggunakan mata uang rupiah.

Jika TKA boleh dibayar dengan mata uang asing seperti dollar AS, maka ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah TKA yang bersangkutan akan diuntungkan karena upahnya naik secara otomatis. Sementara buruh lokal akan rugi karena daya belinya terpukul. “RPP Pengupahan bertentangan dengan regulasi yang ada mulai dari UU Ketenagakerjaan, UU Mata Uang dan Konvensi ILO,” urainya.
Tags:

Berita Terkait