Jelang MEA, Praktisi Usul Perubahan UU Arbitrase
Berita

Jelang MEA, Praktisi Usul Perubahan UU Arbitrase

Pengadilan hadir untuk memperkuat putusan arbitrase, bukan membatalkannya.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Frans Hendra Winarta. Foto: SGP
Frans Hendra Winarta. Foto: SGP

Perhelatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) hanya tinggal menghitung hari saja. Tepat 1 Januari 2016, siap tidak siap, Indonesia memasuki era pasar bebas se-Asia Tenggara. Alur barang dan jasa lintas negara semakin dinamis. Resiko munculnya sengketa (dispute)bisnis juga meningkat. Dalam sengketa perdagangan lintas negara, arbitrase menjadi salah satu forum penyelesaian.

Praktisi hukum Frans Hendra Winarta berpendapat arbitrase perdagangan telah berkembang menjadi salah satu metode penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Arbitrase menawarkan penyelesaian yang fleksibel, rahasia, win-win solution, dan putusan final dan mengikat (final and binding). Frans yakin arbitrase perdagangan akan berperan penting untuk menyelesaian sengketa yang timbul saat MEA.

Agar Indonesia siap menghadapi resiko dan forum penyelesaian yang efektif dan efisien, Frans mengusulkan perubahan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Undang-Undang ini dinilai sudah tidak sesuai dengan konteks arbitrase internasional saat ini. Ia memberi contoh sinambung tugas arbitrase dengan pengadilan di Singapura dan Australia, misalnya. Di kedua negara ini, arbitrase berkembang sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis. “Harus direvisi (UU Arbitrase),” kata Frans kepada hukumonline di Jakarta, Jumat (11/12).

Frans menilai ada dua hal penting yang harus direvisi UU Arbitrase. Pertama, mengenai prinsip ‘kompetenz-kompetenz’. Doktrin kompetenz-kompetenz mengandung makna kompetensi dari para arbiter (majelis) untuk memutuskan yurisdiksi mereka sendiri. Indonesia sebenarnya bukan negara yang mengadopsi UNCITRAL Model Law (Model Law) sebagai undang-undang arbitrase yang berlaku, namun beberapa prinsip dalam Model Law seperti party autonomy dan prinsip pemisah (separability) terdapat dalam UU Arbitrase.

Frans berharap prinsip kompentenz-kompentenz dipertegas dalam revisi UU Arbitrase agar majelis berwenang enentukan sendiri kompetensinya. Konsekuensinya, semua keberatan dari salah satu pihak atas yurisdiksi dari majelis bisa diajukan kepada majelis dan majelis sendirilah yang menentukan.

Kedua, merevisi Pasal 70 UU Arbitrase. Pasal ini menyebutkan bahwa dalam putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur yang diatur di dalamnya. Frans berpendapat putusan arbitrase adalah final and binding. Artinya, tidak ada upaya hukum lanjutan atas putusan arbitrase. Jika pun keberatan, prinsip kompetenz-kompetenz tadi yang akan menentukan keberatan dari para pihak.

Menurut Frans, dalam putusan arbitrase, pengadilan harus menjadi pihak yang memperkuat putusan, bukan malah membatalkan. “Sekali para pihak pilih arbitrase, itu harus tunduk karena terikat dengan perjanjian bahwa menyelesaikan melalui arbitrase. Ada istilah pacta sun servada, sudah milik arbitrase. Bahwa saya sudah berjanji dan saya tidak akan ingkari janji saya. Saya akan tunduk. Tidak ada banding, pindah ke pengadilan berarti mengkhianati. Harusnya diperkuat oleh pengadilan, karena pengadilan yang mempunyai upaya paksa,” tegas Frans.

Wakil Ketua International Chamber of Commerce (ICC) Sugihono Kadarisman mengatakan dalam era globalisasi persoalan asing dan nasional tidak perlu menjadi dikotomi lagi. Indonesia harus fokus pada sasaran utama yaitu tersedianya lapangan pekerjaan, tumbuhnya daya beli dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

Menurutnya, selama ini ekonomi Indonesia dikembangkan dengan lebih mengutamakan perbaikan-perbaikan di sisi supply side, namun kenyataannya Indonesia justru selalu menghadapi berbagai kendala yang sifatnya struktural. “Padahal pengembangan demand side tidak kalah pentingnya dalam pembangunan ekonomi pasar yang kondusif, termasuk bagi asing,” kata Sugihono.

Ia menyarankan agar Pemerintah menciptakan iklim pasar yang kondusif untuk para pelaku bisnis domestik dan asing, melanjutkan deregulasi sektor perdagangan agar lebih business friendly, dan melakukan deregulasi berupa paket stimulus yang ditujukan untuk mendorong sektor-sektor infrastruktur, keuangan atau perpajakan, ketenagakerjaan dan lainnya yang diperlukan bagi kegiatan perdagangan dan investasi.

Pemerintah juga perlu menetapkan kebijakan proteksi yang tidak berlebihan dan cerdas, memperbaiki peraturan yang menjadi hambatan, serta memperkuat koordinasi antarinstansi pemerintah.
Tags:

Berita Terkait