YLKI: BPK Harus Audit Kenaikan Tarif Listrik
Berita

YLKI: BPK Harus Audit Kenaikan Tarif Listrik

Indikator kenaikan tarif listrik dihitung berdasarkan harga minyak, nilai tukar rupiah, dan tingkat inflasi.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
YLKI. Foto: RES
YLKI. Foto: RES
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik untuk golongan 1.300 VA dan 2.200 VA menjadi tanda tanya bagi beberapa pihak. Pasalnya, indikator yang digunakan pemerintah ketika menaikkan tarif listrik adalah harga minyak, kurs rupiah terhadap dolar AS dan tingkat inflasi. Hal ini berarti tarif listrik akan mengalami naik turun sesuai kondisi indikatornya. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan secara regulatif listrik memang harus dijual dengan harga keekonomiannya. Namun, penyesuaian tarif harus memiliki dasar yang cukup kuat. 

Menurut Tulus, ada hal-hal yang harus diperhatikan pemerintah jika ingin menaikkan tarif listrik. “Misalnya di beberapa daerah masih banyak yang kekurangan listrik.  Listrik di beberapa daerah masih byar pet (sering padam, RED), karena kurangnya kualitas penyediaan energi listrik. Karena itu masyarakat menuntut agar PLN meningkatkan kualitas penyediaan listriknya,” kata Tulus dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (29/12).

Sayang, tuntutan masyarakat akan kebutuhan listrik malah dijawab dengan kenaikan tarif, walaupun kenaikan itu hanya untuk 1.300 VA. Tulus memandang, penyesuaian tarif listrik yang terjadi seolah-olah menghilangkan kehadiran negara karena indikator yang dijadikan dasar adalah harga minyak dunia, inflasi dan kurs.  Ini artinya negara telah melepasnya ke mekanisme pasar. 

“Aneh indikator kenaikan tarif adalah inflasi, sementara kenaikan itu juga memicu inflasi,” ujar Tulus.

Untuk itu, YLKI berharap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat melakukan audit terhadap kebijakan kenaikan tarif tersebut.  Audit juga harus dilakukan terhadap golongan tarif 1.300 VA, karena di golongan tarif ini, juga banyak kelompok masyarakat yang tidak mampu.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy menyampaikan kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik memiliki plus minus. Pemerintah, kata Rinaldy, saat ini menetapkan tarif listrik untuk energi terbarukan (Feed in Tariff) dengan harga yang lebih tinggi dari yang dijual PLN.  Hal ini dilakukan untuk melindungi investor agar mereka tertarik melakukan investasi.

Di sisi konsumen, pemerintah memberikan subsidi untuk masyarakat yang kurang mampu. Jika kebijakan ini berjalan dengan baik, maka tidak ada masalah. Namun permasalahannya adalah PLN sebagai perusahaan yang menjual kepada konsumen berada pada kondisi yang tidak nyaman.  PLN di satu sisi sebagai public service company tetapi di sisi lain PLN juga dituntut untuk mengurangi subsidi. 

“Sehingga sulit jadinya untuk menilai kinerja PLN. Apalagi PLN bertanggung jawab terhadap tiga kementerian yang masing-masing menuntut hal yang berbeda terhadap BUMN tersebut," papar Rinaldy. "Kementerian BUMN menuntut PLN harus untung, Kementerian Keuangan meminta PLN untuk mengurangi subsidi, sedangkan Kementerian ESDM menginstruksikan PLN harus menyediakan listrik at all cost.”

Rinaldy menilai penyesuaian tarif listrik adalah kondisi ideal dari kondisi yang tidak ideal. Dengan kondisi rasio elektrifikasi belum 100%, yaitu masih banyak masyarakat yang belum dapat menikmati listrik dan kondisi geografis Indonesia, Rinaldy menilai, harga tarif listrik yang tergantung harga internasional kurang tepat. 

“Seharusnya pemerintah membatasi dampak-dampak internasional terhadap harga listrik untuk masyarakat. Ini untuk melindungi masyarakat yang terdampak,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait