Ini Aturan yang Ditabrak Polri Bila Berlakukan Pengelompokan SIM C
Utama

Ini Aturan yang Ditabrak Polri Bila Berlakukan Pengelompokan SIM C

Perlu payung hukum yang tepat untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Berdalih pengelompokan Surat Izin Mengemudi (SIM) C bagi pengendara kendaraan bermotor demi keselamatan pengendara, Polri berencana mengeluarkan kebijakan baru dengan mengelompokan SIM C bagi pengendara bermotor. Kebijakan tersebut menuai reaksi dari masyarakat.

Anggota Komisi V DPR Nizar Zahro menilai rencana kebijakan tersebut bakal menabrak UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Tak hanya itu, rencana kebijakan yang diutarakan Kepala Korlantas (Kakorlantas), Irjen Condro Kirono, itu dinilai mengakangi Peraturan Pemerintah (PP) No.50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Polri.

Menurut Nizar, Pasal 77 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009 dan PP No.50 Tahun 2010 tidak terdapat frasa kalimat SIM C dibagi tiga bagian. Pasal 77 ayat (1) menyatakan, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”.

Itu sebabnya, kata Nizar, rencana penerbitan SIM C menjadi tiga kelompok sesuai Cubic Centimetre (CC) kendaraan bermotor, diharapkan dapat ditunda pelaksanaanya sebelum ada payung hukum yang jelas. “Sayangnya, rencana tersebut tidak diimbangi dengan adanya aturan hukum yang dapat dijadikan payung hukum,” kata Nizar kepada hukumonline, Selasa (12/1).

Tak saja pengelompokan SIM C, Nizar berpandangan besaran biaya untuk permohonan mendapatkan SIM C yang dibagi menjadi tiga, juga mesti dituangkan dalam aturan.

Sebagaimana diketahui, kegunaan SIM sebagai bukti registrasi dan identifikasi yang diberikan Polri kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan administrasi. Tak hanya itu, pengendara motor mesti memenuhi persyaratan lain semisal, sehat jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor.

“Jadi sebaiknya ditunda agar sesuai dengan peraturan dan perundangan,” ujar politisi Partai Gerindra itu.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, berpandangan wacana  pengelompokan SIM C sebaiknya dihentikan. Malahan, Neta meminta agar tidak merealisasikan rencana Kakorlantas tersebut. Bukan tidak mungkin, kata Neta, realisasi kebijakan tersebut bakal menambah jumlah praktik percaloan penerbitan SIM. Memang masyarakat dalam mendapatkan SIM tak sedikit yang menggunakan jasa calo.

“Apalagi jika dikelompokan, calo akan semakin marak,” katanya.

Terlebih, rencana peraturan tersebut dinilai Neta belum memiliki kekuatan hukum. Menurutnya, penerbitan SIM sudah diatur dalam UU LLAJ. Bila Kakorlantas bersikeras menerbitkan aturan tersebut, ia khawatir akan menuai persoalan baru. Sebelum menenerapkan kebijakan tersebut, Polri semestinya mengusulkan revisi terhadap UU LLAJ kepada DPR.

Ironisnya, pengurusan SIM yang dimohonkan masyarakat acapkali berpotensi menghadapi percaloan. Neta memastikan tingkat percaloan akibat pengelompokan SIM bagi pengendara kendaraan bermotor akan meningkat. Bahkan, bukan tidak mungkin percaloan dilakukan oleh oknum polisi.

“Jika dilakukan penggolongan dipastikan objek percaloan oleh oknum polisi makin marak,” imbuhnya.

Sebelumnya, Kakorlantas Irjen Pol Condro Kirono mewacanakan pengelompokan SIM C bagi pengendara kendaraan bermotor. Tujuannya, dalam rangka meningkatkan keselamatan bagi pengendara kendaraan bermotor. Korlantas, setidaknya mencatat jumlah angka kecelakaan terhadap pengendara kendaraan sepeda bermotor terbilang tinggi. Atas dasar itulah, dibutuhkan aturan baru bagi pengendara kendaraan bermotor dengan kapasitas mesin besar.

Pasalnya, pihaknya mencatat jumlah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan roda dua masih cukup tinggi. Untuk itu, ia menilai harus ada peraturan baru bagi pengendara motor dengan kapasitas mesin besar. Kendati begitu, jenderal polisi bintang dua itu berpendapat pemberlakukan aturan tersebut masih membutuhkan waktu lama.

Soalnya pemberlakuan aturan resebut memelukan banyak tahapan. Mulai masukan internal, eksternal. Bahkan, revisi terhadap Peraturan Kapolri (Perkap) yang mengatur hal tersebut, termasuk pengadaan sarana dan prasarana. “Paling cepat mungkin tahun 2017,” imbuhnya.

SIM seumur hidup
Neta melanjutkan, ketimbang membuat kebijakan pengelompokan SIM, Korlantas sebaiknya melakukan pemberlakuan SIM seumur hidup. Sebab dengan begitu, percaloan dalam perpanjangan SIM dapat diberantas. Penerapan SIM seumur hidup mesti dibarengi dengan ketatnya seleksi dalam mendapatkan permohonan SIM dari pihak kepolisian.

Sebaliknya, pemberian sanksi berat terhadap pemegang SIM ketika melakukan pelanggaran. Misalnya, menabrak kendaraan atau orang, pengendara mesti dicabut kepemilikan SIM. “Dan tidak boleh memegang SIM selama sekian tahun. Apalagi jika yang ditabrak sampai tewas, SIM-nya harus dicabut selama 20 tahun, misalnya,” ujarnya.

Neta yakin bila hal tersebut dilakukan Korlantas berjalan efektif, maka kebijakan penggolongan SIM dapat diberlakukan dengan payung hukum UU, bukan aturan Korlantas. Menurutnya, banyak pekerjaan rumah Korlantas dengan melakukan perubahan. Misalnya, pemberlakukan STNK mesti seumur hidup.

Sedangkan pembayaran pajak kendaraan bermotor dapat dilakukan melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Begitu pula BPKB menjadi seumur hidup. Praktik yang berlaku, terhadap kendaraan yang diperjual belikan mesti mengganti BPKB menjadi baru. Akibatnya, persoalan lalu lintas membutuhkan biaya tinggi.

“Sementara proyek pengadaan SIM, STNK, BPKB serta TNKB sangat rawan menjadi rebutan mafia proyek. Jika SIM, STNK BPKB dan TNKB seumur hidup tentu akan efisien tidak membenani masyarakat dan tidak menjadi rebutan mafia proyek pengadaan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait